You are here : Home Artikel 100% Katolik-Indonesia Pilihan yang Minus Malum

Pilihan yang Minus Malum

Di mata masyarakat, tiga pasang capres-cawapres pilpres 2009 mempunyai kekuatan sekaligus kelemahan.  Semua pasangan berkampanye dengannama yang sama dalam visi: hendak menyejahterakan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.


Menghadapi hal tersebut, situasi umat Katolik khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, tampak terbelah dalam fragmaentasi dan polarisasi pilihan dengan alasan dan argumentasi masing-masing.  Ada yang berharap SBY-Boediono, meski koalisinya terkesan menguatkan posisi kaum fundamentalis berlabel agama.  Koalisi ini pun kental dicitrakan bersekutu dengan fundamentalis pasar bebas.  

Kaum usahawan berharap banyak kepada JK-Wiranto, tapi khawatir penguatan bisnis keluarga berkolaborasi deng pengusaha mantan tentara.  Sedangkan harapan kaum wong cilik tertumpu kepada Mega-Prabowo dengan konsep ekonomi kerakyatan, meski tampak kurang bisa menerima citra Megawati yang dipandang kurang berhasil selama menjadi Presiden.  Juga citra Prabowo yang diduga terseret dengan kekerasan selaku komandan militer.

Bagaimana menentukan pilihan yang minus malum, yakni pilihan terhadap yang kurang jelek di antara 3 pasangan yang sama-sama ada kekurangannya?

SIKAP MORAL

Pada masa awal jatuhnya Orde Baru, KWI pernah memberikan arahan penggembalaan kepada umat Katolik dan masyarakat Indonesia.  Arahan tersebut berintikan adanya multi krisis moral di segala bidang yang berujung pad kerusakan sistem politik, ekonomi, dan hidup kenegaraan.

Kini, Mgr. M.D. Situmorang, OFMCap, selaku Ketua KWI, menyatakan perbaikan multi krisis itu tampak belum usai.  Meski demikian, pusat perhatian dan landasan pilihan kita selalulah pertama dan terutama nilai-nilai yang dianut, diperjuangkan, diyakini, dan dirasa cukup dibuktikan oleh para calon.  Nilai-nilai itu adalah Pancasila, UUD 1945, realitas positif keesaan dan kebhinekaan masyarakat dan bangsa, pengakuan dan penghargaan akan harkat dan martabat semua warga negara, kesetaraan hak dan kewajiban, kebebasan berkeyakinan dan penerapannya, demokrasi, keadilan, kesejahteraan umum, supremasi hukum, keamanan, keutuhan bangsa dan wilayah negara.

Karena itu, Mgr. Situmorang mengingatkan agar kita tidak memilih orang yang mau menjual ideologinya sendiri, orang yang menjadi alat atau diperalat oleh kepentingan sendiri atau kelompok lain yang menyimpang dari landasan dan cita-cita kebangsaan kita.  Arahan itu dapat menuntun kita untuk memilih pasangan capres yang dalam rekam jejak mereka tidak menjual situasi multi kultural dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Selain itu, politik citra masih perlu dicermati (Haryatmoko, Kompas 20/05/09).  Haryatmoko menyatakan, pada intinya citra sama sekali tidak berhubungan dengan realitas. Dia hanya menyerupai dirinya (simulasi).  Simulasi dipertentangkan dengan representasi.  Simulasi bermula dari negasi terhadap tanda sebagai nilai, sedangkan representasi bertolak dari prinsip bahwa ada kesetaraan antara tanda dan realitas.

Penanda seakan sudah menggantikan makna (pertanda).  Di sisi inilah letak pentingnya pertimbangan sebelum menentukan pilihan cerdas terhadap tiga pasangan capres.

REKAM JEJAK

Makna jabatan presiden di dalam sitem pemerintahan sekarang inidan ke depan, sesungguhnya untuk menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.  Karena itu, rekam jejak yang selayaknya menjadi pertimbangan bukanlah penilaian terhadap personal, ad hominem.  Juga bukan karena mereka berbeda.  Jadi, tidak apple to apple.

Pelaksanaan sistem pemerintahan negara menurut konstitusi dengan nilai-nilai kebangsaan harus diperjuangkan sama oleh ke-3 pasangan, yakni melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan memajukan hidup bersama di wilayah RI.  Selaku capres, mereka pun harus menyadari adanya musuh bersama dalam segala fundamentalisme, ideologis, pasar bebas, primordialisme, dan sebagainya.  Lalu, bagaimana rekam jejak para capres dan cawapres tersebut?

SBY sering diberi cap sebagai peragu yang tidak tegas, karena lambat mengambil keputusan.  Namun, ternyata dia sangat tegas dan kukuh, misalnya ketika memilih Boediono selaku cawapresnya.  Justru Boediono yang lambat memutuskan.  Dia memerlukan 2 hari, padahal banyak cawapres lain yang siap dan langsung menyatakan setuju.

Contoh lain terkait Perda bernuansa agama tertentu yang nyata-nyata bertentangan dengan landasan konstitusi dan ideologi negara.  Dalam hal ini, SBY betul-betul lambat.  Hingga kini tidak terdengar ada larangan terhadap Perda-Perda itu.  Padahal di dalam U tentang Pemerintahan Daerah sudah ditentukan bahwa Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 136 ayat (4) UU NO. 32 Tahun 2004).  Sikap peragu yang sama terlihat juga pada kasus Achmadiyah dan lumpur Lapindo.  Bencana ini nyata-nyata membuat sengsara banyak orang.  Tetapi, yang banyak dicitrakan justru yang sebaliknya, yakni keberhasilan SBY dalam pembagian BLT, program PNPM, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi yang tampak stabil, dan seterusnya.  Sedangkan cawapres Boediono tampak sangat tenang dan paham betul perekonomian nasional dan internasional.

Jusuf Kalla tampak jauh lebih tegas dan berani dlam mengambil keputusan.  Karakter manajerialnya dipandang berhasil dlam menciptakan perdamaian di Poso dan Aceh.  Bahkan, ketika Presiden SBY tampak masih ragu dalam memutuskan penunjukan Exxon Mobil terkait eksplorasi minyak di Blok Cepu, JK langsung saja menunjuk tim perunding sehingga proyek minyak besar itu diteruskan.  Dalam kebijakan yang bernilai bisnis, dia memang sangat lincah.  Contohnya, dalam penentuan alternatif pengganti BBM dengan proyek konversi.  Akan tetapi, karakter cepat bertindak itu pula yang tampak menjadi kekurangan rekam jejaknya.

Wiranto tampak tegas dan berani bertindak semasa menjadi Panglima TNI.  Dia pula yan membentuk pasukan pengawal yang bukan TNI reguler (Pamswakarsa).  Tetapi, pada masa jabatannya, Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia.  Seharusnya wilayah itu dilindungi sebagai wilayah RI, termasuk penduduknya yang warga negara RI.

Semasa jabatan SBY-JK, ada 2 UU yang sangat kontroversial tetapi disahkan, yakni tentang Pornografi dan Badan Hukum Pendidikan (BHP).  Megawati sendiri bersikap oposisi untuk hal itu.  Namun, semasa menjadi presiden, Mega bersama DPR kala itu memberlakukan privatisasi BUMN.  Kebijakan release and discharge pun diterbitkan, sehingga pembobol likuiditas BI tidak lagi dihukum.

Keberhasilan Megawari semasa menjabat presiden antara lain adalah meletakkan dasar-dasar reformasi kelembagaan negara dengan amandemen UUD RI Tahun 1945.  berdasar konstitusi itu dilahirkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi pilar penjaga konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengharu-birukan banyak calon koruptor.

Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi dan inflasi bisa dikatakan stabil.  APBN berjumlah Rp 200-300 triliun, jumlah yang jauh lebih kecil dari masa kini yang Rp 800-1,100 triliun.  Namun Megawati dipandang tidak berhasil mengamankan Poso dan Aceh.  Yang lebih parah lagi ada persepsi bahwa lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia dianggap sebagai kegagalan pemerintahan Megawati Soekarnoputri, walaupun kasus itu sesungguhnya kelanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto.

Prabowo selaku cawapres dipandang sangat siap dari tampilan ekonomi dan kepemimpinan.  Tetapi, pada masa dia menjadi Komandan Kopassus dan Kostrad, terjadi kasus penculikan banyak aktivis.

Singkatnya, rekam jejak di atas memerlukan akurasi, presisi, validitas, dan keandalan yang realistis.  Satu hal yang pasti, para capres/cawapres yang akan dipilih ternyata memiliki kelemahan dan kekurangan.  Justru karena itu, suara hati yang dibimbing oleh Roh Kudus menjadi pertimbangan utama dan bertanggungjawab dalam memilih yang kurang jelek dari yang nyatanya sama-sama jelek (minus malum).

(Sumber: Majalah Hidup, No. 25/Tahun 63, 21 Juni 2009)