You are here : Home Artikel Umat Berbagi Semua Indah Jika Berjalan Bersama Tuhan (2)

Semua Indah Jika Berjalan Bersama Tuhan (2)

Catatan Redaksi:

Bapak Nicholas Suhadi, salah seorang umat yang banyak berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan Gereja tingkat Paroki berpulang ke Rumah Bapa pada 23 Oktober 2011 setelah 11 minggu menderita stroke.  Sabitah berterima kasih kepada Ibu Fransisca, istri Alm. Bpk. Nicholas Suhadi yang berkenan membagikan pengalaman pergumulan imannya dari sejak menemani suaminya di rumah sakit hingga sekarang.

Hari- hari persemayaman jenazah Suamiku berlalu cepat.  Setiap hari adalah hari penghiburan buatku.  Begitu banyak saudara dan sahabat yang berkumpul menemaniku dan anak-anak, juga untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Suamiku. Saat Suamiku dikremasi, aku tak ikut serta.  Memang, itulah kehendak Suamiku, katanya, supaya aku tak akan pernah punya pikiran bahwa kami telah terpisah.  Kata teman yang ikut ke krematorium, iring-iringan mobil begitu panjangnya, tetapi semua prosesi kremasi berjalan lancar dan sesuai dengan rencana waktu.  Sungguh, aku yakini sebagai sebuah rencana kerja Tuhan yang luar biasa juga.

Dalam seminggu pertama setelah kepergian Suamiku, aku sungguh masih berjuang untuk menjadi sadar bahwa Suamiku telah tiada, bahwa kini, akulah yang menjadi tumpuan hidup ketiga anakku.  Aku yang menjadi kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga.  Aku yang kini harus menjalankan semua usaha dan kerja yang ditinggalkan Suamiku.  Sebuah kenyataan yang harus kuterima dengan cepat, tanpa pikir-pikir atau bahkan tak mungkin kutolak.  Aku memang harus terus berdiri tegak, tegar menatap hari depan demi anak-anakku.

27 Oktober 2011 adalah hari ulang tahun pernikahanku yang ke-22.  Pada hari itu aku mengulang kembali rekaman memoriku akan hari-hari indah yang kurajut bersama Suamiku.  Suka dan duka, pahit dan manis yang telah kami lalui bersama.  Hingga akhirnya aku tersadar bahwa aku sekarang tidak lagi berstatus “istri” tetapi telah menjadi seorang “janda”.  Berat rasanya mendapat predikat demikian, malu dan belum siap rasanya, apalagi kalau sedang berada bersama teman-temanku yang pasangan hidupnya masih utuh.  Tetapi Tuhan dengan lembut menyapaku:  “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediamanNya yang kudus..” (Mzm 68:6).   Tak seharusnya aku malu menjadi janda, karena sekarang Allah sendiri yang akan menjadi Bapa, Pelindung, dan Suami bagiku dan anak-anakku.

Pada 05 November 2011, aku dan anak-anakku mengikuti Misa Arwah di Oasis Lestari yang dipimpin oleh Bapa Uskup Agung Jakarta.  Pada hari yang sama, 22 tahun yang lalu, kami merayakan hari bahagia pernikahan kami di sebuah restoran di Jakarta.  Aku tersenyum dan membatin: “Pi, coba lihat, banyak undangan yang datang menghadiri pesta kita dulu.  Ingat, ya, Pi, 22 tahun lalu kita merayakan pernikahan kita di restoran, tapi hari ini pestanya di sini.  Secara fisik Papi tidak ada di sampingku lagi, tapi secara rohani Papi selalu ada bersamaku.  Selalu ada di hati, untuk selamanya, tak akan terlupakan dan tergantikan.  Sejak hari ini Mami mulai hidup baru, Pi, bersama Pengantin baruku, yaitu Tuhan Yesus, yang akan menggantikan posisi Papi.  Mulai hari ini juga Mami harus bersukacita, melangkah ke depan, maju bersama Dia yang akan memelihara dan membimbing ke-3 anak kita.  Mulai hari ini juga Mami tidak akan malu mendapat titel “janda”, karena Mami adalah janda terhormat, bukan diceraikan, tetapi yang ditinggal mati oleh suaminya...”

Lewat Homili Bapa Uskup dalam Misa Arwah itu, aku semakin disadarkan bahwa hidup ini hanyalah sementara, tak bisa kita menawar dengan cara apa pun.  Semuanya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepadaNya.  Jika Tuhan berkehendak, maka kita tinggal menjalankan prosesnya saja.  Berapa lama dan kapan hal itu terjadi, hanya Tuhan yang tahu.

Hari demi hari kucoba lalui dengan berbagai kesibukan dan kerja yang harus kuselesaikan.  Dalam segala hal, aku sungguh merasakan tangan Tuhan yang selalu membantuku, melindungiku dari orang-orang yang ingin berbuat jahat atau curang terhadapku.  Sungguh, aku sering takjub dan tak dapat berkata-kata, hanya ucapan syukur dan terima kasih tak terhingga yang kuulang terus-menerus dalam semua doa-doaku saat bersekutu denganNya.

Banyak orang yang heran melihat aku yang selalu ceria dan tersenyum, sepertinya sudah lupa akan terpaan musibah berat yang baru saja kulalui.  Pada kenyataannya, tidak sedetik pun aku bisa melupakan Suamiku terkasih.  Menangis sudah terjadi berulang kali, bukan karena cengeng, tetapi karena aku sungguh kehilangan orang yang kucintai.  Hanya karena kasih setia Tuhan yang selalu menemani dan memberi pencerahan yang memampukanku untuk terus bisa bangkit berdiri, tegar dan sukacita dalam menghadapi hidup ini.  Aku harus selalu berpengharapan, harus selalu percaya pada penyelenggaraanNya yang tak akan pernah salah buat aku dan anak-anakku.

Menjelang Peringatan 40 Hari Berpulangnya Suamiku, kembali aku limbung dan rindu sekali dengannya.  Aku kembali mempertanyakan, kenapa semuanya terjadi padaku?  Kenapa Tuhan begitu cepat mengambil Suamiku dari sisiku? Jawaban lembut Tuhan kulihat pada seorang bapak yang kutemui sedang dituntun oleh istrinya.  Dengan susah payah si bapak berusaha untuk berjalan, tertatih-tatih, sulit sekali melangkah, tatapan matanya pun nyaris kosong.  Aku tersentak dan mulai membandingkan keadaan si istri dengan keadaanku: Apakah aku sanggup merawat Suamiku dalam keadaan demikian?  Apakah Suamiku juga bisa menerima keadaannya kalau dia hidup secara demikian?  Lamunanku buyar saat kudengar suara lembut yang bergema: “Sisca, Aku memberikan yang terbaik untukmu...”

Untuk melupakan kesedihanku, aku juga mengisi hari-hariku dengan bermacam kegiatan menggereja.  Aku ingin secara rohani aku kuat, sehingga aku mampu terus bertahan.  Ternyata, lewat kegiatan-kegiatanku itu Tuhan malah mempertemukanku dengan begitu banyak orang yang hidupnya jauh lebih susah dariku.  Ada yang menghadapi kesulitan hidup yang tak jauh berbeda dariku, tetapi keadaan mereka jauh lebih sulit.  Lewat kejadian-kejadian itu, aku selalu bersujud menyembah dan memuliakan Tuhan.  Siapakah aku ini sehingga Tuhan begitu sayang dan sungguh baik terhadapku?  Apa yang bisa kubalas untuk segala cinta dan kebaikan Tuhan yang telah kuterima dan nikmati ini?  Aku hanya dapat katakan pada Tuhan, “Engkau sudah berbuat begitu banyak buatku.  KasihMu sungguh berlimpah kurasakan.  Aku ingin mewartakan kasih dan kemuliaanMu pada semua orang agar mereka pun memuji dan memuliankanMu.”

Kehidupanku terus bergulir.  Tak aku pungkiri bahwa aku masih sering menangis karena kerinduan yang mendalam pada Suamiku selain juga karena aku melihat betapa Tuhan sungguh mengasihi dan menyertai aku selalu.  Tuhan kita tidak kelihatan, tetapi ada kekuatan dahsyat yang sungguh ajaib dan sungguh luar biasa padaNya.  Itu semua aku rasakan selama menemani Suamiku hingga saat terakhirnya, dan itu semua yang memampukan aku untuk terus tersenyum dan bersukacita.

Aku ingin terus ada berjalan dalam tuntunan kasih dan perlindungan Tuhan.  Seribu langkah yang kujalani sepanjang hidup ini hanya menghasilkan satu kebahagiaan hidup saja.  Namun satu langkah yang kujalani bersama Yesus, menghasilkan seribu kebahagiaan yang tiada tara menuju hidup kekal yang dijanjikanNya bagi kita semua yang percaya kepadaNya.  Bersama Tuhan, berjalan bersamaNya, semuanya hanyalah indah yang kurasakan. (seperti yang diceritakan oleh Ibu Fransisca kepada Sabitah/tis)

Sumber: Majalah Sabitah Edisi 54, Mei-Juni 2012