You are here : Home Renungan Mari Merenung Musa: Si Peragu di Antara Para Penggerutu

Musa: Si Peragu di Antara Para Penggerutu

Apakah ada sosok pemimpin yang bisa memuaskan semua orang?  Tentu saja ada.  Tapi, sosok seperti itu mungkin hanya bisa dihitung dengan jari.

Selalu saja ada yang tidak puas dengan kepemimpinannya.  Menyatukan banyak "ide dalam kepala" ke dalam satu visi dan misi bersama bukanlah pekerjaan yang mudah bagi pemimpin.  Karena itulah, menjadi pemimpin seperti itu perlu bersiap-siap untuk menerima ketidap-puasan dalam bentuk kritikan maupun gerutuan.

Rupanya, problem yang dialami oleh sebagian pemimpin - tidak harus provinsial atau pimpinan komunitas, tetapi bisa juga ketua forum atau panitia - juga dialami oleh salah satu tokoh besar dalam Alkitab, yaitu Musa.  Musa adalah nabi besar (bdk. Ul 34:10-11), sekaligus bapa pendiri dan pemimpin besar bangsa Israel.  Ia dikenal sebagai seorang yang sangat lembut hatinya (bdk. Bil 12:3).  Ia sangat terkenal akan kedekatannya dengan Tuhan: "Dan Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya." (Kel 33:11)

Dalam Alkitab, mungkin tidak ada lagi pemimpin besar sekaliber Musa.  Ia piawai dalam memimpin dan mendampingi bangsanya.  Apakah kepiawaian Musa dalam memimpin dan mendampingi bangsanya itu merupakan bakat Musa sejak lahir?  Jawabannya, tidak.  Tuhan sendirilah yang telah "memformat" Musa selama puluhan tahun, bahkan sepanjang hidupnya.  Apakah pelayanan Musa dalam memimpin bangsanya berjalan dengan mulus dan lancar-lancar saja?  Sekali lagi jawabannya, tidak.  Musa menghadapi banyak problem yang membuat dia terpaksa berulang kali mengeluh kepada Tuhan.  Musa menghadapi orang-orang yagn tidak puas dan menggerutu terhadap kondisi yang ada dan yang masih bermental kanak-kanak.  Untunglah Tuhan berulang kali juga membantu dan menguatkannya.

Si Peragu

Musa terlahir sebagai orang Ibrani di bawah bayang-bayang pembunuhan.  Ibunya, yagn tidak sanggup melihat bayi Musa yagn nantinya akan terbunuh ini, membuangnya ke sungai Nil.  Kebetulan ada puteri Firaun yang sedang mandi.  Ia melihat bayi itu dan mengangkatnya sebagai anaknya dengan nama Musa.  Dalam Alkitab, Musa berarti: "Dia yang telah ditarik dari air."  (Kel 2:10).  Tapi arti yang sebenarnya adalah "orang yang dilahirkan".  Musa kemudian dibesarkan dan dididik dalam istana Mesir.  Jadilah Musa sebagai salah seorang pangeran Mesir.  Tapi, ia menjadi seorang pelarian ketika ketahuan membunuh orang Mesir.  Ia lari ke Midian.  Di sana ia memulai hidup yang berbeda dengan kehidupan di Mesir.  Ia menikah dengan Rehuellah Zipora, anak perempuan imam bangsa itu.  Anaknya dinamakan Gersom sebagai kenangan bahwa dia dulu adalah pelarian dan orang asing.

Musa di fajar kehidupannya tampak seperti orang yang gagal.  Tetapi, sebenarnya ini adalah pedagogi Tuhan.  Tuhan ingin membentuknya sebagai seorang pemimpin.  Karena itu, sebelum memimpin bangsa Israel, dia harus berada di tempat di mana dia harus berhadapan dengan dirinya sendiri dalam kesendirian dan keterasingan.  Ia harus mengenal lebih dahulu  kerapuhan dirinya.  Tanpa mengenal diri, orang akan sulit mengenal orang lain secara jernih dan memimpinnya secara bijak.

Dalam langkah pengenalan diri inilah, Musa bertemu dengan Tuhan melalui malaikatNya dalam bentuk nyala api yang keluar dari semak duri (Kel 3:2).  Tuhan memperkenalkan diriNya dengan istilah "ehyeh asyer ehyeh" (Aku ada yang Aku akan Ada).  Di sinilah, tugas perutusan Musa sebagai pemimpin diberikan oleh Tuhan.  Tuhan mengutus Musa untuk bertemu Firaun dan membawa bangsa Israel keluar dari Mesir.

Namun, Musa ragu akan dirinya sendiri.  Lantas, Tuhan memperlihatkan kepadanya sejumlah mukjizat.  Meskipun begitu, Musa masih ragu akan kemampuan dirinya, lebih-lebih untuk berbicara dan berdebat.  Tuhan rupanya jengkel dengan keragu-raguan Musa ini, sampai-sampai Ia berkata: "Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisa atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni Tuhan?" (Kel 4:11).  Tuhan tampaknya sudah murka ketika Musa mencari-cari alasan untuk mengelak dari tugas sebagai pemimpin Israel: "Ah, Tuhan, utulah kiranya siapa saja yang patut Kau-utus". (Kel 4:13)

Musa tidak berbakat memimpin.  Ia sebenarnya minder dengan ketidak-cakapannya sendiri.  Dia sebetulnya cukup tertekan dengan tugasnya yang menuntut dia banyak bicara, sementara dia bukan orator yang ulung.  Walaupun Tuhan sepertinya kehabisan kesabaran terhadap Musa, Ia masih membuka jalan untuk melepaskan belenggu rasa minder Musa ini dengan memberikan Harun sebagai pendamping dan juru bicaranya.

Di Antara Para Penggerutu

Dalam upaya membebaskan bangsa Israel, Musa mengalami banyak perlawanan.  Anehnya, perlawanan justru sering muncul dari bangsa yang dipimpinnya sendiri.  Ketika masih di Mesir, persisnya ketika Firaun memperberat pekerjaan orang Ibrani lantaran Musa meminta agar orang Ibrani mengadakan perayaan bagi Tuhan di padang gurun, dia malahan dimaki-maki: "Kiranya Tuhan memperhatikan perbuatanmu dan menghukumkan kamu, karena kamu telah membusukkan nama kami kepada Firaun dan hamba-hambanya." (Kel 5:1-23)  Tidak hanya itu saja.  Pada saat yang sama, Musa juga harus menghadapi perlawanan sengit dengan Firaun yang terkenal dengan memiliki hati sekeras batu.  Untung saja, Tuhan turun tangan dengan menurunkan berbagai tulah sehingga Musa tidak "down" dan Firaun akhirnya membiarkan orang Ibrani keluar dari tanah Mesir.

Namun, orang Ibrani kembali menggerutu terhadap Musa, ketika berada di tepi Laut Teberau.  Saat itu pasukan Firaun semakin mendekat dan mengancam keselamatan nyawa mereka.  "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini?  Apakah yang kau perbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?  Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami." (Kel 14:11-12).  Rupanya bangsa ini lebih suka hidup sebagai budak tetapi makan daging daripada hidup sebagai orang merdeka tetapi harus berhadapan dengan kerasnya padang gurun.  Padahal, jalan menuju kemerdekaan hanya mungkin jika orang berani mengambil resiko gagal.

Tampaknya, orang Ibrani ini memiliki hobi menggerutu.  Mukjizat Laut Teberau yang maha dahsyat tidak mampu meyakinkan mereka bahwa dalam pimpinan Musa, Tuhan menyertai mereka.  Musa pun terpaksa berkali-kali meminta bantuan kepada Tuhan.  Ia sangat menderita karena menanggung beban memimpin suatu bangsa yang keras kepala.  Ia mengeluh kepada Tuhan: "Apakah yang akan kulakukan kepada bangsa ini?  Sebentar lagi mereka akan melempari aku dengan batu!? (Kel 17:4).  Kitab Bilangan menceritakan bagaimana mereka memprotes Musa karena hanya diberi manna yang membuat mereka kurus kering, padahal di Mesir mereka bisa makan daging dan sayuran. (Bil 11:4-6).  Berhadapan dengan gerutu mereka, Musa hanya bisa mengeluh kepada Tuhan: "Mengapa Kau perlakukan hambaMu ini dengan buruk dan mengapa aku tidak dapat kasih karunia di mataMu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggungjawab atas seluruh bangsa ini? .... Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggungjawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku." (Bil 11:11, 14).  Orang yang berada dalam posisi sebagai pemimpin pasti akan memahami keluhan Musa ini.  Tuhan tidak tinggal diam.  Ia memerintahkan Musa untuk memilih 70 orang yang akan menerima Roh Tuhan dan membantu Musa sehingga ia tidak memikul sendiri tanggungjawab atas bangsa itu (bdk. Bil 11:17).

Karena Intim dengan Tuhan

Musa sadar bahwa tanpa pendampingan Tuhan, ia tidak sanggup menjalankan tugasnya secara maksimal.  Tanpa relasi dengan Tuihan, kepemimpinannya rapuh.  Dalam kisah pertempuran dengan bangsa Almalek, Musa lebih mengandalkan Tuhan daripada manusia.  Ia tidak menempatkan dirinya di barisan depan pertempuran.  Sebaliknya, dia malahan mendaki sebuah bukit dan berdoa untuk bangsanya.  Musa tahu bahwa kemenangan dan kemerdekaan hanya bisa dicapai melalui doa.  Doanya ternyata memberi kekuatan dan semangat bangsanya dalam pertempuran melawan bangsa Almalek.

Musa tidak hanya pemimpin dalam arti sosial, tetapi juga spiritual.  Ia bertugas untuk menyucikan dan memurnikan bangsa Israel bagi Tuhan dan menyiapkannya untuk bertemu denganNya: "Musa membawa bangsa itu keluar dari perkemahan untuk menjumpai Tuhan dan berdirilah mereka pada kaki gunung." (Kel 19:17).  Ia mengantar bangsa itu pada pengalaman akan Tuhan.  Sebelum memperkenalkan Tuhan, Musa sendiri harus mengalami Tuhan.  Di atas gunung Sinai selama 40 hari 40 malam, Musa berhadapan muka dengan Dia yang Ilahi.  Tidak ada yang mampu menandingi keintiman relasi antara Musa dengan Tuhan.

Musa tahu bahwa sebagai pemimpin, ia perlu mengambil jarak sebentar dari urusan dan kesibukan setiap harinya di antara bangsanya.  Ia perlu menyendiri untuk mengalami kehadiran Tuhan dalam hidupnya.  Dalam kesendirian itu, ia berhadapan dengan dirinya sendiri dan Tuhan.  Pada saat yang sama, ia juga membiarkan dirinya diubah dan diterangi oleh Tuhan.  Dengan ini, ia bisa menjadi saluran rahmat Tuhan kepada orang lain.  Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan telah mengubah dia.  Kitab Keluaran menggambarkan transformasi dalam diri Musa dengan mukanya yang bercahaya.  Karena membuat orang Israel takut (Kel 34:30), ia terpaksa menyelubungi mukanya.  Tuhan rupanya telah mengubah diri Musa sebagai figur yang bercahaya.  Dengan ini juga, Musa sebenarnya dikukuhkan sebagai pemimpin, bukan pertama-tama karena keahlian dan bakatnya, tetapi karena kedekatannya dengan Tuhan.

Marilah Belajar Dari Musa

Dengan menjadi pemimpin, Musa telah menjadi seorang manusia yang utuh dan dewasa.  Ia berani dan berhasil memikul tanggungjawab yang diberikan Tuhan.  Sekalipun harus jatuh bangun di tengah pujian dan caci maki, Musa tetap setia dan tidak lari dari tugsanya.

Untuk bisa setia pada tugasnya, orang perlu jujur dengan diri sendiri dan berani menyadari kerapuhan dan keterbatasan dirinya.  Dengan masuk ke dalam diri, orang akan mudah menemukan Tuhan dan kehendakNya. Dengan begitu, kegagalan dan kesulitan yang dihadapi bisa dilihat secara positif sebagai salah satu pembelajaran dari Tuhan.  Karena itu, perlulah bagi mereka yang menerima tanggungjawab ini, untuk setia mengadakan colloquium pribadi dengan Tuhan, tidak harus dengan duduk bersila sambil mengosongkan diri di hadapan Tuhan, tetapi justru dengan mengungkapkan secara tulus apa yang dirasakannya, itulah yang penting.  Seperti Musa, orang bisa mengungkapkan kemarahannya, ketakutannya, ketidak-sabarannya, dan keluhannya kepada Tuhan.  Ini adalah tanda nyata kedekatan dengan Tuhan.  Inilah yang membuat seseorang menemukan kedamaian batin sehingga bisa bertahan di tengah kritikan, hujatan, atau makian dari orang lain.

Musa adalah teladan para pemimpin.  Beranikah kita seperti Musa?

Ditulis oleh: Romo Albertus Purnomo, OFM

Sumber: Majalah Rohani No. 06, Tahun ke-59, Juni 2012