You are here : Home Renungan

Siapa Sahabat Sejati?

 

Pada suatu kesempatan, seorang kaya berkata bahwa ia akan membagikan kekayaannya di antara para sahabatnya, hanya jika ia sungguh mengenal siapa mereka.

Bertahun-tahun berlalu dan akhirnya orang itu meninggal pada pertengahan musim salju.  Permohonan terakhirnya adalah agar pemakamannya dilakukan pada jam 4 pagi.

Wlaaupun lusinan orang berbangga karena menjadi sahabat karibnya, namun hanya ada 3 orang pria dan satu perempuan yang berdiri menghadap dengan mata merah membengkak dan sedih di samping kuburannya.

Sebelum kuburan ditimbun dengan tanah, salah satu dari pelayat, yang ternyata seorang pengacara, membacakan surat wasiat yang telah ditulis oleh orang kaya itu.  Diperintahkan di dalam surat itu, supaya kekayaannya dibagi sama rata di antara mereka yang menghadiri pemakamannya pada dini hari tersebut.

Memang, rupanya yang namanya sahabat sejati jauh lebih sedikit jumlahnya daripada yang sering kita bayangkan.  (Germs of Thought)

Sumber: Segelas Susu, Rahkito Jati, OMI, Yayasan Pustaka Nusatama, 2005

Add a comment

Jatuh Cinta Setiap Hari


Setiap orang dewasa yang normal pernah mengalami jatuh cinta.  Kalau sedang jatuh cinta, dunia rasanya hanya milik “kita berdua”, yang lain hanya numpang atau paling banter indekost dan ngontrak.  Semua hal kelihatan indah dan penuh kenikmatan.  Jangankan kelebihan, kekurangan pun amat mudah diterima sebagai sebuah sisi yang mengandung unsur menyenangkan.  Setiap tarikan napas bagaikan menghirup aroma yang segar di pegunungan.  Kalau bisa, mesin waktu pun dibuat berhenti.  Dengan demikian, kondisi hidup yang serba menyenangkan bisa bertahan selamanya.

Bayangkanlah sekarang sebuah lingkungan kerja yang dihuni hanya oleh manusia-manusi yang pekerjaannya hanya satu: jatuh cinta.  Hari ini jatuh cinta pada pekerjaan.  Besok jatuh cinta pada diri sendiri.  Lusa jatuh cinta pada suami atau istri.  Tiga hari kemudian, jatuh cinta pada anak-anak.  Hari berikutnya  jatuh cinta pada orang tua.  Akhirnya, jatuh cinta pada mertua.  Singkat kata, lima hari kerjanya diisi penuh dengan jadwal jatuh cinta.  Siklus kerja mingguan penuh dnegan warna dan spirit hidup jatuh cinta.  Wow... betapa indahnya!

Mari kita mulai dengan jatuh cinta pada pekerjaan.  Tidak banyak orang yang bisa hidup tenang tanpa berganti-ganti pekerjaan setiap kali tidak suka.  Kalaupun ada orang pintar yang mudah diterima di sana-sini, pada suatu titik ada juga batas kebosanan kegiatan berpindah-indah kerja itu.  Tempat kerja yang satu tidak jauh berbeda dengan tempat kerja yang lain.  Di tempat kerja mana pun, selalu ada masalah, ada tantangan, ada ketidakcocokan antar-orang, ada konflik, dan deretan hal sejenis.  Setelah jadi pengusaha pun, deretan hal tadi akan senantiasa hadir.

Kalau berkaitan dengan kenaikan gaji, promosi jabatan, dan hal-hal menyenangkan lainnya, kita mudah menerimanya dengan iklas.  Namun, berkaitan dengan hal-hal negatif seperti konflik dengan rekan sekerja, dan lain-lain, diperlukan banyak usaha agar ktia bisa jatuh cinta pada pekerjaan.

Jatuh cinta yang kedua adalah jatuh cinta pad diri sendiri.  Orang yang teramat sering jatuh cinta pada dirinya, apalagi senantiasa awas akan bahaya kesombongan, sebenarnya sudah sampai pada titik lebih tinggi dari sekedar bahagia.  Kebahagiaan masih dibayang-bayangi oeh kesedihan.  Namun, pecinta diri sendiri secara penuh tidak lagi dikejar bayang-bayang kesedihan atau mengejar bayangan kebahagiaan.  Bayangan itu sendiri sudha tidak ada karena sudah menyatu dengan sang aku.  Tidak ada orang yang lebih beruntung dari orang yang sudah sampai di titik ini.

Di tempat mana pun, di waktu kapan pun, dan bersma siapa pun, ia selalu bercumbu dengan sang aku.  Suka duka, sedih bahagia, siang malam, rindu benci, dan dikotomi hidup sejenis, sudah musnah bersamaan dengan jatuh cinta dia pada sang aku.  Tidak ada penolakan terhadap sang aku, yang ada hanya penerimaan.  Tidak ada keterpaksaaan, yang ada hanyalah sikap ikhlas yang senantiasa mengalir dalam setiap kesempatan.  Tidak ada pembandingan, yang ada hanyalah ketulusan untuk melihat bahwa saya ini adalah saya.  Nikmat sekali, bukan?  Lebih-lebih ongkos ke arah itu tidak terlalu mahal, hanya memerlukan keikhlasan untuk menerima dan kemudian mencintai sang aku.  Itu saja.

Jatuh cinta berikutnya adalah jatuh cinta pada keluarga.  Suami/istri, anak, orangtua, mertua, serta anggota keluarga lainnya adalah serangkaian manusia yang berkontribusi besar terhadap bangunan hidup kita.  Tanpa orangtua dan mertua, mungkin tidak ada kehidupan.  Tanpa istri/suami serta anak, rumah akan menjadi tempat yang kering, sepi, dan sunyi.  Rumah adalah tempat yang paling indah di dunia ini.  Di situlah orang-orang yang kita cintai, yang menerima diri kita secara utuh, tinggal dan menunggu kedatangan kita setiap hari.

Memasuki pintu rumah, terutama ketika baru pulang dari tugas luar kota, seperti memasuki gerbang surga.  Betapa pun mewahnya hotel tempat kita menginap, betapa pun bersihnya bandar udara yang kita lalui, betapa pun cantik dan gagahnya orang-orang yang ditemui dalam perjalanan, itu semua tetap tidak bisa menggantikan posisi orang-orang di rumah.

Perhatian, kesabaran, dan kesediaan untuk menerima seutuhnya hanyalah hal murah, sederhana, dan dimiliki setiap orang yang bisa menimbulkan hasrat orang lain untuk jatuh cinta pada diri kita.  Seperti pernah ditulis Deborah Waitley “To love another is to look at the good” – mencintai berarti melihat aspek baik dari orang lain.  Atau, mirip dengan apa yang pernah ditulis Katherine de Burb, “Love has nothing to do with what you are expecting to get – only with what you are expecting to give – which is everything.”  - Cinta berkaitan dengan apa yang kita berikan, dan di sinilah letak kebesaran cinta.  Kalau demikian, bukankah tak terlalu sulit membuat orang lain jatuh cinta pada diri kita setiap hari?

Sumber: Di Sudut Hati, Anthony Harton, Penerbit Kanisius, 2003 Add a comment

Meskipun Buta

 

Pada suatu hari seorang gadis kecil sedang berjalan-jalan bersama kakeknya.  Mereka tiba di depan pagar kebun yang diselimuti dengan bunga-bunga mawar merah.  Sambil menarik nafas dalam-dalam, gadis kecil itu berkata," Kakek, bisakah kakek mencium harumnya bunga-bunga mawar itu?  Bunga-bunga itu bagus sekali!"

Kemudian keduanya mendengar suara seorang nenek tua yang sedang duduk di beranda.  "Ambillah sebanyak yang kau inginkan," katanya.

Maka si gadis kecil dan kakeknya masing-masing memetik satu tangkai mawar dan mengucapkan terima kasih kepada nenek itu dan tidak lupa memuji keindahan bunga-bunga mawarnya.

Nenek itu tersenyum dan berkata, "Saya menanamnya dengan tujuan untuk membuat orang lain senang.  Saya sendiri tidak bisa melihat bunga-bunga itu, karena saya buta."

 

Sumber:  Segelas Susu, Rahkito Jati, OMI, Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2005

Add a comment

Mengenal Sang Gembala


Beberapa tahun yang lalu, seorang aktor kenamaan menghadiri sebuah jamuan makan.  Untuk melengkapi kegembiraan dalam jamuan itu, para hadirin kemudian meminta sang aktor untuk mendeklamasikan sebuah puisi bagi mereka.  Ia bertanya apa ada sesuatu yang khusus yang ingin mereka dengar dari dia.  Seorang pastor yang sudah agak berumur, yang juga hadir dalam kesempatan itu, meminta kepadanya untuk mendeklamasikan Mazmur 23: “Tuhanlah Gembalaku”.

Mendengar permintaan khusus itu, tiba-tiba wajah sang aktor berubah.  Ia diam sejenak.  Lalu katanya, “Saya setuju dengan permintaan ini, tetapi dengan satu syarat, yaitu setelah saya selesai membaca, pastor juga akan melakukan hal yang sama.”

“Saya?” kata pastor itu terkejut.  “Saya bukan pembicara profesional.  Tetapi karena Anda menghendakinya, baiklah saya nanti juga akan mencobanya.”

Maka kemudian sang aktor itu dengan segala keahliannya mendeklamasikan Mazmur 23.  Seluruh hadirin terpesona mendengarnya.

Akhirnya, tiba giliran sang pastor.  Ia mendaraskan mazmur itu dengan suara yang lembut bergelombang.  Tetapi ketika ia kembali untuk duduk, ia menjadi heran, karena tak seorang pun hadirin yang tidak meneteskan air mata.  Semua terlihat terharu dan mengusap matanya.

Sang aktor kemudian berdiri.  Dengan suara gemetar, ia berkata: “Hadirin yang terhormat, saya telah memikat mata dan telinga Anda, tetapi bapak pastor ini telah memikat hati kita.  Yang membuat kami berbeda adalah saya mengetahui mazmur itu, tetapi dia mengenal Sang Gembala itu.” (tony castle)


Sumber: Sebuah Apel, Rudi Rahkita Jati, OMI, Penerbit: Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2006 Add a comment

Patahkan Kakinya


Ada seorang gembala yang memiliki banyak domba.  Salah seekor dombanya nakal dan memiliki karakter yang sangat berbeda dengan domba-domba yang lain.  Domba nakal ini selalu memisahkan diri dari kawanannya.  Ketika domba-domba yang lain makan rumput secara berkelompok, dia akan keluar dari kelompoknya dan pergi ke tempat yang dia suka.  Ketika gembalanya sedang menggiring domba-dombanya ke padang rumput, si domba nakal ini akan lari sendirian ke arah yang berlawanan, menjauh dari kelompoknya.  Dengan setia, sang gembala selalu mencari domba nakal yang memisahkan diri itu dan menempatkannya kembali bersama kawanannya.  Demikianlah yang selalu terjadi sampai akhirnya sang gembala mengadu kepada Tuhan.

“Tuhan, Engkau adalah Gembala yang baik.  Mazmur Daud menggambarkan Engkau sebagai Gembala yang membawa domba-domba ke padang rumput yang hijau.  Sebagai seorang Gembala, aku percaya bahwa Engkau pun mengalami hal-hal yang kualami ini ketika Engkau sedang menggembalakan dombaMu.  Tuhan, Engkau Allah yang mengetahui segala sesuatu.  Kalau Engkau ada pada posisiku, apa yang akan Engkau lakukan dalam menghadapi domba yang nakal itu?”
Add a comment
Readmore
Page 26 of 28