You are here : Home Renungan

Pekerjaan atau Pengabdian?

Tiap minggu, seorang perangkai bunga menyiapkan rangkaian bunga untuk dipajang di altar. Gereja hanya memberinya dana sedikit. Tidak jarang ia harus menombok demi mendapat bunga terbaik. Tak heran, rangkaian bunganya selalu tampak elegan dan berselera tinggi. Dari sudut bisnis, ia rugi. Dengan dana minim, buat apa bersusah-payah? Namun, baginya ini merupakan pengabdian, bukan pekerjaan. Rangkaian bunganya adalah persembahan, bukan sekadar barang jualan.
 
Dalam bekerja, umumnya orang mementingkan hak. Kerja keras harus dibayar dengan upah pantas dan aneka fasilitas. Pengabdian lebih dari itu. Melibatkan loyalitas dan pengorbanan. Rasul Paulus, contohnya. Ketika memberitakan Injil, ia tidak mau bergantung pada orang lain, meski biasanya jemaat memang mendukung penghidupan para rasul. Uang yang menjadi haknya tidak diambil karena ia tidak mau membebani jemaat. Akibatnya, ia harus berjualan tenda sebagai usaha sampingan. Repot! Namun, semua itu ia jalani dengan sukacita. Sedikit pun tidak merasa terpaksa. Paulus tidak hitung-hitungan karena ia memandang pekerjaannya sebagai pengabdian.
 
Pada zaman modern ini, kata "mengabdi" kian menjadi usang. Para pebisnis berusaha mendapat untung maksimal dengan upaya minimal. Karyawan kerap menuntut kenaikan upah dan fasilitas, tetapi bekerja tanpa loyalitas. Pelayanan di Gereja pun kerap dilakukan orang ala kadarnya, tanpa pengorbanan. Andai kita memandang pekerjaan sebagai kesempatan dan berkat, seperti Paulus, pasti cara kita bekerja akan berbeda. Dengan sepenuh hati. Seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia  - -JTI

PEKERJAAN YANG DILAKUKAN DENGAN SEPENUH HATI MEMBERI KEPUASAN LEBIH DARI SEKADAR MENERIMA GAJI.
 
(Sumber: Our Daily Bread - dikirim oleh E. Elly, umat Lingkungan Sta. Clara, Wilayah 21)
Add a comment

Arti Ke Gereja

Seorang Katolik menulis surat kepada Redaksi sebuah surat kabar dan mengeluhkan bahwa dia merasa sia-sia pergi ke gereja setiap minggu.  Tulisnya: "Saya sudah pergi ke gereja selama 30 tahun dan selama itu saya telah mendengar 3.000 homili.  Tapi selama hidup, saya tidak bisa mengingat satu homili pun.  Jadi saya rasa saya telah memboroskan begitu banyak waktu - demikian pun para Romo itu telah memboroskan waktu mereka dengan khotbah-khotbah itu."

Surat itu menimbulkan perdebatan yang hebat dalam kolom pembaca.  Perdebatan itu berlangsung berminggu-minggu sampai akhirnya ada seseorang yang menulis demikian:

"Saya sudah menikah selama 30 tahun.  Selama itu istri saya sudah memasak 32.000 jenis masakan.  Selama hidup saya tidak bisa mengingat satu pun jenis masakan yang dibuat istri saya.  Tetapi saya tahu bahwa masakan-masakan itu telah memberi saya kekuatan yang saya perlukan untuk bekerja.  Seandainya istri saya tidak memberikan makanan itu kepada saya, maka saya sudah lama meninggal."

Sejak itu tak ada lagi yang berkomentar tentang khotbah di gereja.

(Sumber: Buku Renungan Satu Perjamuan Satu Jemaat, Edisi Oktober 2008)

Add a comment

Santo Paulus, Misionaris Besar Segala Zaman

Santo Paulus "bersinar laksana bintang yang bercahaya di dalam sejarah Gereja, dan bukan hanya dalam kisah awalnya." (Paus Benediktus XVI, dalam Audiensi pada 25 Oktober tahun 2006) Paulus bukan hanya penulis surat-surat yang kita warisi sekarang ini. Ia pertama-tama dan terutama adalah misionaris. Ia dikenal dengan sebutan Rasul Segala Bangsa dan seorang tokoh  penting dalam Gereja, yang penuh warna dan lengkap. Pertemuannya dengan Kristus dalam perjalanan ke Damsyik adalah sumber dari  segala pewartaan dan teologinya. Ketika ia melakukan perjalanan ke kawasan Laut Tengah, mengalami penganiayaan, bahaya yang mengancam dalam perjalanan, ia bekerja tak henti-hentinya. Itulah yang menjadi kebanggannya dalam hidup, yaitu mewartakan Injil di tempat-tempat di mana Injil belum pernah diwartakan.

Sibuk = Mati Rasa

Dalam aksara Cina, kata "sibuk" berarti "kematian hati" atau "hati yang mati". 
Kesibukan cenderung membuat orang "mati rasa" karena terampas hal yang berharga dalam hidup kita, yakni kepekaan.
 
Orang yang sibuk bisa kehilangan kepekaan terhadap Tuhan dan sesama.
Lebih parah lagi, orang yang sibuk lama-kelamaan bisa menjadi egois - tidak lagi peduli pada manusia di luar dirinya.
Paulus membukakan tentang kondisi manusia akhir zaman kepada Timotius.
Kondisi di mana manusia akan "mencintai dirinya sendiri [egois], menjadi hamba uang, membual, menyombongkan diri, menjadi pemfitnah, berontak terhadap orang tua, tidak tahu berterima kasih, dan tidak mempedulikan agama." (2 Timotius 3:2)

Sebagai anak Tuhan, mari kita latih kepekaan rohani dalam mencermati tanda-tanda zaman, agar tidak terjebak dalam kematian hati.
Add a comment
Readmore

Tanda - Tanda Luka

Saudara-saudara terkasih dalam Kristus, 

Untuk mengawali curahan hati pada hari Raya Paskah 2009 ini, saya mengutip sebuah kisah yang sangat menarik. Kisah ini berjudul, “Tanda-Tanda Luka”

Beberapa tahun yang lalu di sebuah musim panas di Florida bagian selatan. Seorang anak kecil memutuskan untuk pergi berenang di sebuah danau di belakang rumahnya. Dengan tergesa-gesa dia berlari keluar pintu belakang sambil melepaskan sepatu, kaus kaki dan kaosnya, terjun ke air yang dingin. Dia berenang dan berenang terus tanpa disadarinya bahwa dia sudah berada di tengah-tengah danau. Bersamaan dengan itu, seekor buaya besar juga sedang berenang ke arah yang sama. Ibunya dari dalam rumah memandang ke arah jendela dan melihat anaknya dan buaya tersebut semakin lama semakin mendekat satu dengan yang lain. Dengan ketakutan yang luar biasa, dia berlari ke dekat pinggir danau tersebut sambil berteriak kepada anaknya dengan sekuat tenaga. Ketika mendengar teriakan ibunya, anaknya sadar dan berbalik berenang ke arah ibunya.

Add a comment
Readmore
Page 25 of 28