You are here : Home Iman Mengaku Dosa, Mengapa?

Mengaku Dosa, Mengapa?


Ecclesia Semper Reformanda! – Gereja selalu diperbaharui!  Gereja tidak mandeg, Gereja tidak tanpa perubahan.  Untuk itulah setiap anggota Gereja juga mesti memperbaharui diri.  Tidak berhenti dan cukup dengan sudah ada, tetapi terus-menerus berkembang.  Berkembang mengandaikan adanya sikap evaluasi dan introspeksi diri.  Dengan lain kata: mesti ada pertobatan!  Umat beriman mesti mau bertobat: mau melihat dirinya, mau mengakui dosa dan kesalahannya, menerima pengampunan dari Allah dan dipulihkan hubungannya dengan seluruh Gereja.  Gereja selalu berkembang, Gereja selalu bertobat.  Siap mengakui dosa, siap menerima pengampunan.

Namun, pertanyaannya: mengapa mesti mengakui dosanya?  Jawabnya: Karena orang berdosa itu sekaligus membuat 3 luka: luka pada Allah, luka pada diri sendiri, dan luka pada Gereja.  Oleh sebab itu, tobat juga sekaligus menyembuhkan 3 luka.  Seseorang dipulihkan dan disucikan kembali berkat pengampunan, berdamai lagi dengan Allah, dan diterima kembali ke dalam Gereja.  Itulah pemahaman dosa di antara kita sejak zaman Gereja awal.

Berkaitan dengan praktek pertobatan, di kalangan umat sekarang ini beredar beberapa istilah yang menunjuk pada Sakramen yang sama.  Ada yang menyebut: Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Perdamaian, Sakramen Pengampunan Dosa, Sakramen Rekonsiliasi,  Sakramen Tobat, dan mungkin masih ada istilah yang lain lagi.  Istilah-istilah itu menunjuk pada penekanan yang berbeda-beda.  Ada yang menekankan pada pengakuan dosanya, ada yang menekankan pada pendamaian antara pendosa dengan Allah dan Gereja, ada yang menekankan pada niat pertobatan, dan seterusnya.  Hal ini sungguh tergantung pada “rasa” yang mau ditonjolkan oleh seseorang.

Namun demikian, istilah resmi yang dipakai Gereja, khususnya dalam Konsili Vatikan II adalah Sakramen Tobat.  Istilah ini ingin menonjolkan bahwa unsur yang terpenting adalah tobat dan “orang beriman yang bertobat” (Lumen Gentium 28).  Namun, hubungan dengan Gereja juga ditekankan.  “Mereka yang menerima Sakramen Tobat memperoleh pengampunan dari Allah dan sekaligus didamaikan dengan Gereja.” (Lumen Gentium 11).  Oleh karena itu, tidak semestinya orang beriman berpandangan bahwa dosa adalah urusan AKU dan TUHAN atau dosa adalah perkara empat mata!  Tidak demikian dalam padangan Gereja.  Orang berbuat dosa bukan hanya mengotori dirinya dan menyakiti Allah, teatpi sekaligus mencoreng kesucian Gereja.  Pada abad-abad awal, pandangan ini sangat terlihat jelas dalam praktek tobat.  Orang berdosa mengutarakan dosa-dosanya di depan seluruh umat.  Setelah itu ia melakukan penitensi (denda dosa) dengan mati raga atau puasa, atau bentuk-bentuk yang lain dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan “besar kecil” atau “berat ringan” nya dosa yang dilakukan.  Bahkan, kesempatan menerima Sakramen Tobat sangat terbatas, hanya 1 kali saja!  Kalau ia ditemukan melakukan dosa berat lagi, ia bisa dikucilkan (ekskomunikasi) dari persekutuan dan Perjamuan Ekaristi.  Namun demikian, dalam perkembangan waktu, praktek pertobatan dalam Gereja berubah dan bergeser.  Sakramen Tobat dilaksanakan tidak secara publik/umum, tetapi secara privat/pribadi di kamar pengakuan.  Penitensinya juga bergeser dari yang fisik/materil ke yang rohani.  Sakramen Tobat juga bisa diterima berulangkali.  Lebih sering, lebih baik!

Perubahan atau pergeseran praktek Sakramen Tobat yang terjadi dalam sejarah Gereja, bukan untuk melonggarkan makna Sakramen Tobat atau malah mengizinkan umat untuk berbuat dosa.  Perubahan yang ada menunjukkan perkembangan dan pembaruan yang terus-menerus.  Para Bapa Konsili Vatikan II merumuskan keyakinan bersama: “Gereja adalah suci, namun sekaligus harus selalu dibersihkan serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan.” (Lumen Gentium 8).  Itulah konteks utama mengapa orang mesti bertobat.  Kita semua adalah orang-orang suci.  Dengan dibaptis, kita diangkat kembali menjadi anak-anak Allah.  Namun demikian, kita sadar diri bahwa kita masih terus jatuh dalam dosa.  Maka, kita mesti melakukan pertobatan dan pembaruan diri.  Pertobatan dan pembaruan diri ini diungkapkan dengan datang dan menerima Sakramen Tobat sekurang-kurangnya pada menjelang Natal dan Paskah.  Logikanya, setiap orang yang sadar bahwa dirinya berdosa, mesti mengaku dosa!  

Anda merasa berdosa?  Datanglah kepada imam Gereja dan akuilah dosa Anda!  Terimalah pengampunanNya dan sambutlah hidup yang baru!  Rasakan bedanya ketika Anda keluar dari ruang pengakuan!

Ditulis oleh Romo Henricus Asodo, OMI
Sumber: Bedah Gereja Seri 6, Majalah Sabitah, Edisi Maret-April 2005