You are here : Home Artikel Kesehatan Sembuh Itu Benar-Benar Ada

Sembuh Itu Benar-Benar Ada

Senja, 7 Oktober 2011, di dasar sebuah dam sedalam 5 meter, saya menelungkup di atas sebuah batu besar dalam kondisi basah kuyup.  Kedua kaki saya tidak dapat digerakkan.  Kekuatannya hilang hanya dalam hitungan detik sesaat setelah kedua kaki saya membentur lantai bendungan itu.  Bahkan, saya hampir tidak merasakan sensasi apa pun pada kedua kaki ketika seorang teman melepaskan sepatu saya.

Ada pembengkakan di kedua pergelangan kaki, dan selain itu saya perkirakan kedua tulang tumit saya pecah setelah terjun bebas setinggi 5 meter tadi.  Tetapi entah mengapa, saya tidak merasakan sakit sebagaimana seharusnya.  Saya masih sempat mengisap sebatang rokok hingga habis sambil memikirkan apa yang harus saya lakukan.  Saat itu yang saya pikirkan justru bagaimana caranya keluar dari dasar bendungan itu.

Proses evakuasi saya awali dengan merangkak menuju tangga bendungan sambil mengabaikan rasa perih di lutut.  Kedua teman saya yang berada di sana sempat bingung harus berbuat apa, begitu pula kakak saya yang berada di atas, menjaga kamera yang berhasil mengabadikan adegan nekat itu.  Istri saya yang berada di lereng menangkap firasat buruk.  Ia merasa telah terjadi sesuatu pada pengambilan adegan tadi.  Sementara di langit rembulan mulai muncul meneduhkan suasana.  Itulah adegan nyata yang akan tampil dalam film The Lost Territory yang sedang saya garap bersama teman-teman komunitas.  Berkat bantuan tenaga dari anak-anak asuh Suster-Suster PPYK yang tidak jauh dari lokasi, saya berhasil meninggalkan kawasan itu dan dilarikan ke rumah sakit.

Benar, kedua tumit saya mengalami cedera.  Pecah!  Ketika perawat menawarkan obat penghilang rasa sakit, saya menolak karena benar-benar tidak merasakan sakit.  Sumpah.  Jam dinding di kamar rontgen RS Panti Rapih, Yogyakarta menunjuk pukul sembilan malam.  Ibu dan adik saya tampak lega setelah mengetahui kondisi saya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kabar burung bahwa saya kecelakaan lalu lintas di Jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Lima jam kemudian saya mulai merasakan sesuatu yang aneh namun menakutkan, rasa kesemutan di sekujur tubuh, menjalar dari telapak kaki hingga ke leher dengan rasa dingin yagn menyedot semua energi tubuh.  Saya takut untuk memikirkan hal itu lebih lanjut, jadi saya berjuang untuk tetap sadar meski hanya dengan sisa-sisa napas yang ada dan pandangan mata yang mulai kabur.

Akhirnya, sifat keras kepala yang saya miliki berhasil mengembalikan saya pada kesadaran penuh.  Sakit yang sesungguhnya pun secara penuh mulai terasa tak tertahankan.  Suster menyuntik saya dengan obat sejenis pain killer, pembunuh rasa sakit.  Keesokan harinya, Sabtu sore, 8 Oktober 2011, saya pulang dengan mengenakan sepasang sepatu putih terbuat dari gips.  Pesan dokter: "Jangan dipakai untuk menapak selama enam minggu."

"Ini sepatu termahal yang terpaksa saya beli seharga 2 juta sepasang!" saya menyahut.

Keesokan harinya adalah hari Minggu.  Entah siapa yang menyebar kabar, sepulang dari gereja, orang-orang datang menjenguk saya untuk menyampaikan belarasa.  Minggu pertama saya tidak sempat beristirahat karena menerima banyak kunjungan dan doa.  Sejak itulah saya menjalani hidup dan aktivitas sehari-hari dengan cara berbeda, berjalan dengan kedua lutut.  Hanya sebatas itulah perubahan yang saya alami.  Tuhan masih menjaga bagian tubuh saya yang lain, bagian lutut ke atas untuk melanjutkan hidup.

Bukan hanya itu saja yang saya syukuri.  Tuhan memberi saya kesempatan untuk memanjakan kondisi saya dengan banyak aktivitas yang sebelumnya saya lakukan.  Simbol penderitaan berupa sepasang gips harus segera saya ubah penampilannya dengan memberi banyak ornamen, gambar, dan kata-kata yang bertujuan menertawakan diri sendiri.  Kepada teman-etman dekat saya larang untuk berdoa bagi kaki saya, "Eman-eman doane (sayang doanya)!"

Teman lain menggoda saya, "Dimintakan Sakramen Minyak Suci saja gimana?"

Jawab saya: "Ndak perlu, minyak itu terlalu suci untuk kaki saya, eman-eman minyaknya, mending sakramen minyak tawon saja kalau ada!"

Begitulah sikap saya pada awal masa pemasungan.  Semua itu terjadi bukan salah siapa-siapa.  Salah saya sendiri, yang kemudian saya tulis pada gips di kaki saya: NO FEAR, NING KEBABLASEN! kalimat campuran Inggris-Jawa itu rupanya ungkapan yang paling cocok untuk karakter saya, ingin membuktikan bahwa saya pemberani, tapi justru yang terbukti adalah bahwa saya sudah tidak muda lagi.  Dulu, terjun seperti itu pernah saya lakukan saat saya berumur 22 tahun.  Kini umur saya sudah 50 tahun.  Lupa unurm lupa mengontrol rasa takut.

Ikhlas - Kunci Kesembuhan

Saat yang paling membahagiakan saya adalah ketika saya berada di antara mereka yang menggapai-gapai kesembuhan dalam sebuah terapi bara api.  Pengalaman saya memang bukan pengalaman sebagai orang sakit, melainkan cedera karena sembrono.  Dengan sepasang sepatu gips itu saya ingin membuktikan kepada mereka yang ingin sembuh bahwa saya orang biasa, bukan penyembuh.  Saya juga bisa celaka, bisa mengalami sakit, namun saya semakin tahu bagaimana cara meraih kesembuhan.

Saya akui bahwa jalan menuju sembuh untuk mereka yang menderita sakit berat memang hanya berupa celah sempit.  Celah sempit itu harus diperlebar dengan sebuah alat bernama IKHLAS menerima kenyataan.  Ikhlas bagi saya berarti rela untuk tidak memikirkan apa yang sudah tidak pantas dipikirkan, misalnya saja tentang masa lalu yang berkaitan dengan riwayat sakit yang diderita.  Barangkali saya akan cacat seumur hidup, tapi saya tidak menyesalinya.  Saya cukup minta maaf kepada kedua tumit saya.

Salah satu peserta terapi saya ternyata menyimpan dendam terhadap dokternya yang menurutnya justru membuat kedua matanya mengalami glukoma.  Secara khusus saya sering  mengunjunginya untuk mengingatkan masalah bahaya dendam bagi orang sakit.  Saya memberikan contoh adanya penyakit yang sudah ditangani para dokter spesialis, dengan obat-obat yang mahal, dengan peralatan canggih, namun tidak sembuh.  Biasanya kita menyebutnya sebagai penyakit nonmedis.

Bisa dikatakan penyakit yang mengganggu itu adalah "kiriman seseorang" alias santet.  Pantas bila dokter tidak bisa menanganinya secara medis.  Begitu pula dengan pasien yang sangat lambat meraih kesembuhan karena dendam terhadap masa lalu yang merupakan riwayat penyakitnya itu, sama halnya dengan mengirim santet untuk diri sendiri.  Kesembuhan akan lari dan pasien itu harus mengejarnya terus.  dengan memaafkan masa lalu, maka kesembuhan tidak akan beranjak dari tempatnya, kita tinggal menghampirinya, hari demi hari, memperpendek jarak dengan kesembuhan, hingga kita secara nyata mampu menggandengnya.

Enam minggu sudah berlalu.  Grand opening kaki saya berlangsung tanggal 19 November 2011, dengan kondisi awal tidak jauh berbeda dengan kondisi saya pada 7 Oktober 2011.  Saya tidak bisa langsung berdiri dan berjalan normal.  Hingga tulisan ini saya susun, saya masih menggunakan tongkat untuk menopang langkah saya.  Sebelumnya saya duduk di kursi roda, berjalan dengan lutut, berdiri dengan penyangga besi seperti jemuran handuk, ganti kruk yang saya jepit di ketiak, dan pada malam tahun baru, saya sudah bisa berlari-lari kecil tanpa bantuan apa pun melintas bara api sepanjang 2 meter tanpa alas kaki.

Jika Anda adalah orang sakit, dan mampu membuang kenangan buruk yagn berkaitan dengan riwayat sakit yagn Anda derita, Anda berhak atas 50% modal kesembuhan, sisanya tinggal mengikuti petunjuk dokter dan berdoa.  Suatu hari pada masa yang akan datang, Anda akan dinyatakan sembuh. (Ig. Bambang Shakuntala)

Sumber: Majalah Utusan No. 02, Tahun ke-62, Februari 2012