You are here : Home Artikel Keluarga Sahabat Spesial

Sahabat Spesial

Siapa saja pasti sudah sering mendengar kata 'autis'.  Lewat tulisan ini saya ingin membagikan pengalaman tentang apa dan bagaimana saya memahami para penderita autis.  Namun sebelumnya, saya akan memberi gambaran teoritis tentang apa itu autis sehingga muncul kesamaan persepsi tentang autis.  Kadang karena kurang memahami apa dan siapa penderita autis, kita mendengar orang berkata "dasar autis" dengan maksud bercanda.

Autis berasal dari Bahasa Yunani "autos" yang berarti "diri" (self).  Pengertian autis adalah gangguan pada perkembangan otak dan sistem syaraf sehingga anak berpola tingkah laku hiperaktif.  Anak-anak autis mengalami gangguan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan gangguan aktivitas imajinasi.  Ciri-ciri penderita autis adalah anak cenderung menyendiri, berforkus pada diri, dan bermain dengan dunianya sendiri.  Anak sulit berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas atau tidak fokus.  Penderita autis juga sensitif terhadap makanan yang baunya tajam dan menyengat, mereka sensitif terhadap cahaya, suara ramai dan keras.  Anak-anak autis kadang memiliki kemampuan yang cukup tinggi di bidang-bidang tertentu, walaupun di sisi lain ada juga yang mengalami keterbelakangan mental.  Mereka membutuhkan pendampingan ekstra dari orangtua dan orang-orang di sekitarnya agar dapat tumbuh berkembang seperti halnya anak-anak lainnya.

Berangkat dari pemahaman ini saya terdorong untuk mengenal dan mendalami kehidupan anak-anak autis dengan kompleksitas permasalahannya.  Peristiwa ini terjadi 2 tahun yang lalu, di Klaten, Jawa Tengah, tepatnya di Lembaga Arogya Mitra, yang menangani anak-anak autis hiperaktif.  Di sana saya bersentuhan langsung dengan anak-anak autis yang sering disebut anak-anak spesial.

Dalam perjumpaan dengan mereka, awalnya saya mengalami rasa takut.  Saya takut kalau kata dan tindakan saya menyakiti mereka.  Namun, dengan rahmat Allah, saya mulai mengenal mereka.  Lewat mereka saya menyadari bahwa untuk mengenal sesuatu atau seorang pribadi tidak cukup hanya berdasarkan buku-buku yang dipelajari, media elektronik yang canggih, metode-metode pendekatan, informasi, dan sharing dari berbagai sumber.

Lebih dari itu, diperlkukan keterbukaan hati serta pengosongan diri untuk menerima hal yang baru.  Menerima mereka dalam realias hidup sehari-hari melalui hal-hal sederhana seperti melipat baji, melipat selimut, mencuci piring, menyapu, dan sebagainya.  Hari demi hari saya belajar untuk mengenal setiap pribadi yang Allah anugerahkan kepada saya.  Saya berusaha menanamkan pandangan positif mengenaimereka yaitu bahwa sahabat-sahabat spesial ini adalah anugerah dari Allah yang patut saya cintai dan sayangi.

Walaupun menumbuhkan pandangan positif itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun saya dengan sadar memilihnya.  Dalam permenungan, saya diingatkan bagaimana Yesus sendiri memberi teladan dan contoh persahabatan.  Seorang sahabat rela mati dan mengorbankan diri bagi sahabat-sahabatnya.  Pergulatan untuk belajar dan berproses bersama para penderita autisme menyadarkan saya tentang makna hidup.  Sempat terlintas dalam benak saya sebuah pertanyaan: "Mengapa Allah menciptakan manusia dengan kekurangan?" Bukankah Allah sendiri berfirman: "Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa ALlah (Kej 1:26) dan baik adanya (Kej 1:31)".  Bukankah manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki martabat yang luhur dan dilengkapi dengan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya?  Dalam keterbatasan diri ternyata Allah turut campur tangan dalam hidup saya dan justru Allah menunjukkan jalan.  Saya juga belajar menghargai setiap proses yang terjadi, suatu proses yang kelihatannya mandeg.  Meskipun demikian justru di sanalah sebuah proses terjadi.  Lambat namun pasti, saya bersyukur atas kesetiaanNya dalam membimbing dan mendampingi perjalanan hidup saya selama ini.

Di akhir tulisan ini, saya kembali teringat dengan sebuah refren lagu: "Persahabatan... bagai kepompong.."  Lirik lagu ini amat sederhana namun kaya makna.  Refren lagu ini menggambarkan suatu hubungan yang indah, yaitu sebuah persahabatan timbal balik agar masing-masing dapat bertumbuh dan berkembang sesuai potensi yang ada di dalam dirinya.  Pertumbuhan dan perkembangan ini layaknya sebuah kepompong yang berisi ulat yang kemudian berubah indah menjadi kupu-kupu.(Sr. Lusi Andayani, SSpS)

Sumber: Majalah Rohani No. 04, Tahun Ke-59, April 2012