You are here : Home Artikel Keluarga Pendidikan Anak dan Kesibukan Orangtua: Sebuah Permenungan

Pendidikan Anak dan Kesibukan Orangtua: Sebuah Permenungan

PENDIDIKAN ANAK DAN KESIBUKAN ORANGTUA:  SEBUAH PERMENUNGAN

Sepasang anak manusia melangkah ke depan Altar suci untuk mengikat janji sehidup semati dalam  untung dan malang, membentuk satu keluarga.  Salah satu tujuan berkeluarga adalah memiliki keturunan - anak-anak sebagai buah cinta kasih pernikahan.  Kehadiran anak dalam sebuah keluarga biasanya disambut dengan sukacita penuh.  Rasanya lengkap sudah kebahagiaan hidup berkeluarga dengan kelahiran si buah hati.  Tetapi sadarkah suami dan istri yang sekarang disebut “orangtua” ini akan lahirnya pula sebuah tanggungjawab besar pada diri mereka berdua untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak-anak mereka seperti yang telah pula mereka janjikan di hadapan Tuhan saat menikah?

Mendidik anak memang menjadi sebuah pekerjaan besar yang tidak main-main.  Semua orangtua tentu ingin anaknya menjadi pintar, maju, dan mendapat pendidikan setinggi-tingginya supaya kelak dapat menggapai cita-citanya.  Masyarakat memang masih percaya bahwa orang-orang yang punya pendidikan tinggi pasti punya masa depan yang cerah.

Pendidikan secara formal ditempuh seorang anak di sekolah, tempat ia menimba ilmu, belajar bersosialisasi, dibentuk dan diasah sikap dan karakternya.  Dengan semakin majunya dunia pendidikan, sekarang banyak dibuka sekolah yang menawarkan berbagai macam kelebihan dalam pemberian pendidikan.  Pilihan bagi orangtua dalam menyekolahkan anak-anaknya semakin bervariasi dan juga semakin membuat orangtua bingung.  Sayangnya, banyak orangtua yang akhirnya menjadi ikut-ikutan tren dan termakan bujuk rayu.  Banyak orangtua berpendapat bahwa sebuah sekolah yang bagus adalah sekolah yang mematok uang pangkal yang tinggi.  Sebenarnya, apa yang diharapkan orangtua dari sebuah sekolah dalam mendidik anak-anaknya?  Apakah dengan berpatokan pada angka uang pangkal dan favoritas sebuah sekolah maka orangtua yakin bahwa anak-anaknya akan mendapat pendidikan formal yang terbaik?

Banyak orangtua sekarang yang sungguh sibuk.  Sibuk dalam urusan pekerjaan kantornya, sibuk mengejar karier, sibuk mencari nafkah demi kehidupan keluarganya.  Tak dapat dipungkiri, sekarang pun banyak suami-istri yang keduanya bekerja demi menabung bagi hari esok anak-anaknya.  Ada juga istri-istri yang beruntung, karena dapat berperan penuh sebagai Ibu Rumah Tangga.  Tetapi tak jarang para Ibu Rumah Tangga ini pun didera kesibukan yang luar biasa – ikut arisan, berbelanja di mal-mal, pergi ke salon, pusat kebugaran, ngerumpi bareng, dan banyak macam kegiatan di luar rumah lainnya.  Apa pun yang menjadi kesibukan-kesibukan orangtua, akhirnya itu semua mengurangi banyak waktu mereka untuk berinteraksi dengan anak-anaknya.  Syukur kalau masih ada yang bisa membagi waktu dengan baik  sehingga anak-anak masih dapat bertemu dan berkomunikasi langsung dengan orangtua mereka setiap harinya.  Tetapi yang banyak terjadi sekarang adalah para orangtua begitu sibuknya di setiap hari kerja dan hanya bisa meluangkan waktu di akhir pekan saja untuk berada bersama anak-anak – bahkan ada pula yang sibuk terus-menerus sepanjang minggu.  Semua kebutuhan anak-anak memang tercukupi.  Apa pun yang diminta atau diinginkan anak-anak juga dipenuhi.  Akan kagetkah orangtua kalau ternyata anak-anaknya lebih rindu dan dekat ke pengasuh mereka daripada orangtuanya sendiri?  Akan kagetkah orangtua kalau mendapatkan anak-anaknya sering menciptakan masalah di sekolahnya?

Kalau dulu IQ (Intelligence Quotient) menjadi standar isi kepala seseorang yang juga menjadi pertanda kecerdasan seseorang dalam meniti dunia selama hidupnya, kini IQ tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dari faktor diri seseorang.  Lahirnya EQ (Emotional Quotient) mendampingi IQ dinilai sangat penting bagi dunia maju.  Kalau seseorang menjadi begitu cerdas tapi punya emosi yang labil, yang tak terkendali, yang meledak-ledak, bagaimana mungkin dia akan menjadi orang besar yang sukses?  Tetapi ternyata, muncul lagi SQ (Spiritual Quotient) untuk menjadi kekuatan dan terbentuknya karisma pada diri seseorang.  Seseorang yang cerdas dengan emosi yang stabil dan berakar kuat pada Tuhan akan menjadi orang yang punya karisma dan daya pancar kepribadian yang mantap.  Orang-orang demikianlah yang kini menjadi sangat kurang di dunia yang semakin tua tetapi semakin berkembang maju.  Akankah anak-anak kita memiliki IQ, EQ, dan SQ yang seimbang?  Siapa yang bertanggungjawab untuk menciptakan keseimbangan ketiganya ini?  Sekolah?  Atau orangtua?

Pendidikan anak-anak pada akhirnya memang menjadi tanggungjawab pertama dan utama dari para orangtuanya.  Dari sejak dilahirkan pada dasarnya seorang manusia sudah mulai dididik dan mulai masuk dalam sekolah tidak resmi.  Dan pendidikan pertama itu dimulai di dalam keluarga si anak oleh kedua orangtuanya – yang kini banyak dibantu oleh pengasuh atau pendamping anak.  Sejumlah “lakukan” dan “jangan lakukan” mulai diperkenalkan kepada si anak di dalam keluarga berdasarkan pola didik unik masing-masing keluarga.  Unik, karena pola didik setiap keluarga akan menjadi berbeda, tergantung dari daerah asal orangtua, adat istiadat setempat, termasuk juga campur-tangan keluarga besar orangtuanya.  Unik, karena pola didik dalam keluarga biasanya banyak mengacu pada cara didik turun-temurun.  Jika si ayah mendapat didikan disiplin keras dari orangtuanya di masa kecil, misalnya, tak menutup kemungkinan hal yang sama juga diterapkan si ayah ke anak-anaknya.

Mari kita sama-sama mengambil waktu sejenak untuk merenung:   Apakah kita sebagai orangtua telah ambil bagian secara langsung untuk mendidik anak-anak kita sendiri?  Apakah kita telah mengenal sifat, karakter dan kepribadian anak-anak kita?(smartis)

(Sumber: Majalah Sabitah Edisi 49, July-Agustus 2011)