You are here : Home Artikel Keluarga 8 Cara Menjaga Iman Anak-Anak

8 Cara Menjaga Iman Anak-Anak

"Saya bingung! 12 tahun saya menyekolahkan anak saya di sekolah Katolik, tapi mengapa dia tidak mau pergi ke gereja?" keluh seorang ibu. Saking banyaknya, kalau saja setiap keluhan orangtua macam itu diganti dengan uang recehan, wah, pasti akan banyak sekali uang yang terkumpul.  Sementara beberapa orangtua tidak terlalu memperhatikan atau bahkan tidak peduli, banyak orangtua yang lain dan juga para nenek atau kakek khawatir bahwa anak/cucu mereka, terutama yang umurnya berkisar 16-22 tahun meninggalkan iman Katolik.

 

Saya sendiri, berbekal 40 tahun pengalaman sebagai guru dan katekis, justru belajar dari anak-anak muda agar semakin hari semakin kuat dan bisa membagikan nasihat kepada para guru, katekis, orangtua, dan juga kakek-nenek.

 

Memang tidak ada yang bisa menjamin bahwa anak-anak kita akan tetap dekat dengan iman Katolik, tetapi baiklah kita mempelajari beberapa cara di bawah ini sebagai upaya memupuk iman mereka:

Pertama, ingatlah bahwa bertanya adalah suatu perilaku yang normal.  Apabila anak-anak mulai mempertanyakan ini dan itu tentang iman Katolik tanggapilah dengan baik, karena itu menandakan proses pertumbuhan iman mereka.

Kedua, kita semua belajar dari pengalaman.  Bagi anak-anak, pengalaman adalah sesuatu yang mengagumkan.  Sebagai orangtua, kita bisa membangun saat-saat di mana kita mengajak anak-anak untuk merenungkan dan menggali kekaguman yang sejati, masuk ke dalam diri, dan menemukan makna dalam kehidupan sehari-hari, entah tentang lingkungan alam, pelajaran di sekolah, perkembangan teknologi, kelahiran seorang adik, dan apa pun yang menarik perhatian mereka.  Spiritualitas Katolik dikembangkan pada syukur dan kekaguman akan segala ciptaan Tuhan.  Hal inilah yang bila ditumbuhkan setiap hari, tanpa kita sadari akan membawa kita pada pertumbuhan iman yang kuat.

Ketiga, ketahuilah bahwa kehati-hatian Gereja adalah sebuah respons akan situasi di mana anak-anak muda kita seringkali dikhianati oleh idola mereka.  Karena begitu sering mendengar berita-berita buruk tentang orang-orang yang tampaknya baik, tak heran bila anak-anak tidak dapat begitu saja percaya dan hormat kepada santo-santa yang kita perkenalkan kepada mereka.  Misalnya saja, skandal-skandal keuangan yang dilakukan oleh para biarawan-biarawati membuat anak-anak muda - bahkan orang dewasa juga - meragukan integritas orang-orang yang bekerja pada pelayanan Gereja.  Itulah sebabnya, anak-anak muda itu akan justru curiga kalau kita berkata, "Percayalah padaku.  Ini adalah kebenaran."  Kita juga harus menghindari kata-kata yang otoriter semacam ini, "Karena begitulah ajaran Gereja," atau  "Karena saya mengatakan begitu." Sebaliknya, kita justru harus membantu perkembangan iman mereka dengan perbuatan kita sehari-hari, bagaimana kita menjaga iman dan tetap mencintai Gereja dengan segala kekurangannya.

Keempat, ketahuilah bahwa orangtua adalah orang yang paling berpengaruh dalam kehidupan seorang anak.  Perilaku dan kebijaksanaan orangtua adalah alat yang paling tepat untuk menjaga Tuhan dan Gereja tinggal dalam hati anak-anak.  Saya percaya, perbincangan tentang iman, gereja, doa, persembahan, moral, etika, dan hubungan sosial seharusnya diletakkan dalam konteks pengalaman keluarga. Karenanya, orangtua tidak bisa begitu saja menyerahkan tugas pengembangan iman semacam ini kepada guru di sekolah.  Ini adalah tugas dan hak para orangtua.  Para orangtua bisa dengan bebas bercerita tentang pengalaman hidup mereka pribadi kepada anak-anaknya untuk menunjukkan hubungan dan peran Tuhan dalam kehidupan mereka.  Pada saat-saat sulit, pernyataan kepercayaan seorang ibu atau bapak akan penyelenggaraan ilahi akan dapat menenangkan hati anak-anaknya.  Hal ini juga membantu mereka memahami bahwa menjadi dewasa artinya menghadirkan Tuhan secara nyata dalam pasang surut hidup.

Kelima, jangan takut dan enggan untuk bertanya kepada guru atau katekis agar dapat menjawab dengan baik pertanyaan anak-anak tentang iman dan Gereja.  Hubungan antara orangtua dan lembaga-lembaga pendidikan rohani anak-anak seharusnya terjalin dengan saling melengkapi.  Maka, sudah seharusnya, orangtua merasa bebas untuk berkonsultasi sehingga ketika di rumah dapat "melanjutkan" pendidikan iman yang telah diberikan di ruang kelas.  Bagaimana pun, para gurulah yagn telah dilatih dan mempunyai bekal pengetahuan akan pengajaran iman sesuai dengan perkembangan anak.

Keenam, tunjukkanlah peran nenek-kakek dalam kehidupan anak-anak.  Tak dapat disangkal, mereka mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dalam hal pengasuhan anak.  Dan lagi, sebagian besar anak merasa lebih dekat dengan nenek-kakeknya karena mereka inilah yang punya lebih banyak waktu.  Baik untuk menasihati nilai-nilai maupun waktu untuk mendengarkan keluh-kesah anak-anak tentang kehidupan dan Tuhan.  Sementara itu, para orangtua lebih punya sedikit waktu, baik karena jam kerja yang padat maupun berbagai beban lain yang harus ditanggung.

Ketujuh, tanamkanlah pemahaman akan arti menjadi umat Katolik kepada anak-anak muda, terutama remaja.  Sebuah penelitian menunjukkan bahwa Tuhan dan agama memang penting dalam kehidupan anak muda.  Akan tetapi, dalam diri anak-anak muda itu akan muncul sikap "semau gue" ketika Gereja dan orangtua tidak mau lagi memperhatikan perkembangan dan kebutuhan mereka.

Suatu ketika saya menghadiri Misa anak-anak muda di mana mereka semua mengenakan kaos yang di bagian depannya bertulis "Aku Bangga menjadi Katolik".  Memang, bagi saya mengenakan tanda-tanda identitas kelompok semacam ini tidaklah terlalu penting.  Akan tetapi saya harus mengakui bahwa hal ini penting bagi anak-anak muda itu sebagai cara untuk memupuk rasa memiliki dan keterikatan antar mereka.  Hal ini kemudian menjadi pemikiran saya di rumah, bukankah hal itu juga sebenarnya yang harus selalu kita upayakan, memupuk rasa memiliki iman dan Gereja serta menjalin keterikatan dengan sesama dan anggota Gereja.

Kedelapan, jangan panik ketika anak-anak remaja Anda tampak tidak tertarik dengan hal-hal yang religius.  Kita semua perlu berusaha untuk menunjukkan kepada mereka bahwa Gereja adalah rumah mereka yang selalu menerima dengan penuh kehangatan, di mana mereka bisa mencari jawaban atas keraguan dan ketakutan mereka, di mana hanya ada pesan Yesus, dan di mana suatu hari mereka sendiri pun bisa membawa anak-anak mereka dalam kehangatan itu.  Bahkan, bila mereka akhirnya tidak pernah lagi berhubungan dengan Gereja masa kecilnya, kita tidak pernah tahu bagaimana mereka bisa tetap dekat dengan Tuhan.  Apa yang bisa kita lakukan hanyalah membuka pintu selebar-lebarnya menyambut kedatangan mereka, tetap tekun berdoa, dan menyerahkan anak-anak kita ke dalam tangan Tuhan. (Diterjemahkan dari Carol Cimino, SSJ, Ed.D., - 8 Keys to Keeping Kids Catholic - Catholic Digest - oleh: Purnawijayanti)

Sumber: Majalah Utusan No. 07, Tahun ke-60, Juli 2010