You are here : Home Artikel Dunia Pustaka Bolehkah? Dilarangkah? Yang Pasti, Nikmati Saja...

Bolehkah? Dilarangkah? Yang Pasti, Nikmati Saja...

Gereja Katolik memang ‘raksasa’ dunia yang punya organisasi lengkap dan tertata rapih.  Tak heran kalau ada sementara orang yang ‘iri hati’ dan lalu berusaha memecah-belah Gereja Katolik.  Tak heran juga kalau ada sementara orang yang mengambil – atau mungkin tepatnya: memanfaatkan – keadaan ini dengan kepandaian yang dimilikinya: menulis cerita-cerita seputar Gereja Katolik, entah itu tentang keyakinannya, tradisi-tradisi Gerejanya, hingga sedikit bergosip dan bercerita tentang legenda maupun bisik-bisik yang terjadi di seputar Gereja Katolik.

Sejak munculnya novel “The Da Vinci’s Code” karya Dan Brown yang menggemparkan dan lalu kemudian difilmkan, tercatat muncul kemudian begitu banyak judul novel yang mengambil cerita, latar belakang, maupun kehidupan di dalam Gereja Katolik.  Percetakan buku lokal pun berlomba-lomba untuk menterjemahkan buku-buku tersebut.  Cobalah mampir ke toko buku yang cukup punya nama di Jakarta, maka mata kita pun tak akan tertutup dari sederet judul novel seperti yang dimaksud di atas.

 

Bagi para penggemar novel yang beragama Katolik, sering muncul perasaan resah dan kesal karena terkadang isi novel-novel itu begitu penuh intrik dan permainan kotor sejumlah oknum petinggi Gereja Katolik.  Kekuasaan, uang, bahkan iman bermain di dalamnya.  Kesemuanya serasa memberi citra buruk bagi Gereja Katolik.  Lalu timbul pertanyaan: bolehkah kita membaca novel-novel ini?  Dilarangkah? Yang pasti, kalau memang kita ingin membacanya, bacalah novel itu dan perlakukanlah sebagai hiburan semata.  Tak perlu kita tersinggung, tak perlu melibatkan iman kita, bahkan tak perlu kita menjadi gemas dan marah.  Namanya juga novel, sebuah cerita fiksi – walau beberapa penulis menyatakan menulis ceritanya setelah melewati masa penyelidikan yang dalam.  Nikmati saja sebagai teman rileks.

 

The Grail Conspiracy – Misteri di Balik Penemuan Piala Suci yang dikarang oleh Lynn Sholes dan Joe Moore (Buku terbit tahun 2005, terjemahan dalam Bahasa Indonesia terbit tahun 2010) bercerita tentang upaya pengkloningan Yesus oleh Knight Templar yang didatangi kaum Malaikat Yang Terusir.  Cotten Stone, seorang Anti-Kristus, jurnalis terkenal, menjadi saksi terbunuhnya arkeolog Gabriel Archer di ruang bawah tanah situs penggalian makam kuno di Niniveh, Irak Utara.  Kepada Cotten, Archer masih bisa menitipkan sebuah kotak kayu hitam tak bercela yang menjadi sasaran sementara pihak yang menginginkan isi dari kotak itu, Piala Suci asli yang digunakan Yesus pada Perjamuan Terakhir dan yang juga digunakan untuk menampung darah Yesus ketika Dia disalib.  Unsur DNA yang masih terdapat di dinding cawan suci menjadi incaran Ketua Tertinggi Knight Templar yang berupaya membuat kloning Yesus.  Upaya ini diyakini Ketua Tertinggi sebagai “Kedatangan Yesus yang kedua kalinya” untuk memimpin pembersihan bumi dari orang-orang yang tidak berpihak, dan pada akhirnya bumi akan dikuasai oleh pengikut Knight Templar dan kaum Malaikat Yang Terusir yang sudah tidak dapat kembali ke surga.  Dalam memecahkan masalah ini, Cotten didampingi oleh John Tayler, seorang Imam yang sedang dalam masa cuti dalam upaya menemukan jalan pelayanan yang tepat bagi dirinya.  Cotten sendiri berjuang keras untuk memecahkan masalah ini demi kekasih dan sahabatnya yang ikut terbunuh dalam persekongkolan ini.

Pope Joan (Film, dirilis tahun 2009) adalah cerita legenda seorang Paus perempuan.  Kelahiran Joanna Anglicus tidak disambut gembira oleh ayahnya, karena ia berkelamin perempuan.  Dengan latar belakang abad ke-9, film ini menyoroti perbedaan ‘hak’ antara laki-laki dan perempuan di zaman itu.  Joanna adalah seorang anak berotak encer, ia dapat membaca dan menulis hanya dengan menguping pelajaran yang diberikan kepada kakak-kakak lelakinya.  Belakangan, seorang kakak laki-lakinya membantunya belajar.  Hal ini akhirnya diketahui ayahnya yang lalu memberinya hukuman-hukuman.  Joanna meninggalkan rumahnya, memutuskan melanjutkan hidupnya dengan berpenampilan sebagai seorang laki-laki dengan menggunakan nama kakaknya, Johannes Anglicus.  Joanna mengikuti panggilan-panggilan Tuhan lewat kemampuannya mengobati sesama.  Hal ini membuat namanya harum hingga ke Roma, dan ia mendapat kehormatan untuk mengobati Paus Sergius.  Belakangan ia diangkat menjadi orang kepercayaan Paus dalam bidang ilmu pasti dan politik.  Panggilan Tuhan berpuncak pada terpilihnya Joanna sebagai Paus Johannes, setelah terbunuhnya Paus Sergius.  Sebagai Paus, Joanna banyak menerapkan aspirasi baru terutama dalam hal kesetaraan jender, termasuk mendirikan sekolah untuk perempuan.  Paus Joan digambarkan meninggal karena keguguran dan rasa sakit yang dideritanya pada saat kekasihnya terbunuh dalam usaha melindunginya.

Seperti biasa, film tentu dibuat dengan akhir cerita yang lebih menarik atau lebih komersil daripada legenda yang ada.  Dari film ini terlihat bahwa pada abad-abad awal, belum banyak peraturan yang mengikat dalam pengabdian diri bagi Gereja.  Legenda mengatakan bahwa Paus Joan melahirkan saat mengendarai kuda, kemudian dihukum oleh rakyat Roma dengan diseret oleh kuda sampai mati.  Ada pula yang mengatakan Paus Joan tidak langsung dihukum mati, tapi dikucilkan.  Anaknya menjadi Uskup di Ostia dan menampung ibunya di Gereja tempat ia berkarya.  Nama dan sejarah Paus Joan atau pun Paus Johannes Anglicus tidak terdapat dalam arsip Keuskupan hingga pada abad ke-13 saat munculnya cerita tentang Paus Joan dalam sebuah tulisan yang dianggap banyak orang sebagai fiksi. (andrea/ts)

(Sumber: Majalah Sabitah Edisi 44, Juli-Agustus 2010)