You are here : Home Artikel Yang Terkini Surat Gembala Prapaskah 2013

Surat Gembala Prapaskah 2013

(dibacakan sebagai pengganti kotbah, pada Misa Sabtu/Minggu, 9/10 Februari 2013)

“MAKIN BERIMAN, MAKIN BERSAUDARA, MAKIN BERBELARASA”

 

Para Ibu dan Bapak, Suster, Bruder, Frater,

Kaum muda, remaja dan anak-anak yang terkasih dalam Kristus,

Pertama-tama saya ingin mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek kepada saudari/saudara yang merayakannya. Kita semua tahu, Tahun Baru Imlek pada mulanya berkaitan dengan syukur para petani atas datangnya musim semi, musim yang indah dan menjadi lambang munculnya kembali kehidupan setelah musim dingin yang beku. Kalau pun tidak semua dari antara kita merayakan Tahun Baru Imlek, bolehlah kita semua ikut masuk ke dalam suasana sukacita dan syukur atas berseminya harapan akan masa depan baru, berkat pembaharuan hidup.

Sementara itu bersama dengan seluruh Gereja, pada hari Rabu yang akan datang, kita akan memasuki masa Prapaskah, dengan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan kita masing-masing sebagai pribadi, sebagai keluarga maupun sebagai komunitas. Prapaskah adalah masa penuh rahmat, ketika kita bersama-sama mengolah pengalaman-pengalaman dan mengusahakan pembaharuan hidup agar dapat semakin mantap dan setia mengikuti Yesus Kristus sampai sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Untuk kepentingan masa Prapaskah tahun ini, sudah disediakan sarana-sarana pembantu antara lain buku yang berjudul “Retret Agung Umat – Makin Beriman, Makin Bersaudara,  Makin Berbelarasa”. Semoga bahan-bahan yang sudah disediakan ini, dapat membantu seluruh umat untuk membuat masa Prapaskah semakin bermakna dan berbuah.

Kisah panggilan Simon yang dibacakan pada hari ini (Luk 5:1-11) memberikan kepada kita contoh bagaimana kita dapat mengusahakan dan mengalami pembaharuan hidup. Pembaharuan itu ditunjukkan dalam perubahan nama yang disandang oleh Simon. Pada awal kisah, nama yang dipakai untuk menyebut dirinya adalah Simon (ay 3.4.5). Dalam perjalanan waktu nama itu berubah: ia disebut Simon Petrus (ay 8). Kita semua tahu, dalam Kitab Suci, perubahan nama adalah tanda perubahan pribadi berkat pembaharuan hidup. Pembaharuan hidup itu tampak juga dalam cara Simon menyapa Yesus : ketika ia tampil sebagai Simon, Yesus ia panggil dengan julukan Guru (ay 5). Sementara ketika ia tampil sebagai Simon Petrus, Yesus ia sebut dengan gelar Tuhan (ay 8). Artinya, pembaharuan hidupnya terjadi berkat pengalamannya akan Yesus. Yesus ia alami bukan lagi sekedar sebagai Guru yang mengajar, tetapi sebagai Tuhan yang menguasai dan menyelenggarakan kehidupan.

Perubahan nama itu tampaknya sederhana dan cepat. Tetapi dalam kenyataan, perubahan nama yang mencerminkan pembaharuan hidup merupakan proses yang panjang dan tidak sederhana. Pada awal kisah, kepercayaan Simon kepada Sang Guru diuji. Ternyata Simon berani mengambil risiko : meskipun sebagai nelayan ia tahu persis bahwa waktu mencari ikan sudah lewat, ia turuti perintah Gurunya. Ia berani melangkah lebih jauh daripada perhitungan-perhitungan yang aman. Ternyata langkah yang penuh risiko ini membawanya masuk ke dalam pengalaman yang menakjubkan dan yang tak terkirakan yaitu pernyataan kuasa ilahi dalam bentuk tangkapan ikan yang berlimpah. Simon masuk ke dalam pengalaman yang menentukan dalam hidupnya : pernyataan kuasa ilahi di hadapannya ini bukannya membuat dia membusungkan dada, melainkan membuatnya sadar bahwa dirinya adalah orang berdosa. Proses pembaharuan hidup pada tahap ini membawa Simon kepada kesadaran yang benar akan dirinya sebagai pendosa. Injil menceritakan, “Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata, “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa” (ay 8). Simon berharap Yesus akan pergi, tetapi ternyata pada waktu itulah justru  kepadanya diberikan tugas perutusan :”Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia” (ay 10). Menjadi jelaslah bahwa kesadaran akan dosa tidak membuat Simon terpuruk atau kehilangan harga diri. Sebaliknya kesadaran inilah yang merupakan awal dari hidup baru, yang merupakan kesimpulan dari kisah ini: ”Sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu lalu mengikut Yesus” (ay 11).

Dengan demikian kisah penangkapan ikan yang ajaib ini dapat kita mengerti sebagai undangan bagi kita semua untuk setiap kali kembali kepada pengalaman akan kuasa dan kasih ilahi yang akan membawa kita kepada kesadaran diri yang benar sebagai orang berdosa, sebagai saat yang menentukan dalam proses pembaharuan hidup. Prapaskah adalah masa khusus yang disediakan bagi kita agar kita dapat mengalami kuasa dan kasih Allah yang membaharui kehidupan kita.

Saudari-saudaraku yang terkasih,

Kita semua umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta diajak untuk menggunakan masa Prapaskah ini juga untuk membaharui kehidupan : agar kita menjadi pribadi-pribadi yang makin beriman, makin bersaudara dan makin berbelarasa. Beriman berarti semakin setia mengikuti Yesus Kristus, seperti Simon Petrus. Ketika iman kita menjadi semakin sejati, dengan sendirinya kita akan semakin bersaudara. Oleh karena itu salah satu tanda yang amat penting untuk menguji kedalaman iman kita adalah apakah iman itu berbuah persaudaraan. Sementara itu persaudaraan yang benar dan sejati dengan sendirinya akan berbuah belarasa. Hidup bersama yang tidak membuahkan belarasa tidak bisa disebut persaudaraan, melainkan sekedar kelompok atau bahkan komplotan. Begitulah proses pembaharuan hidup itu terjadi dalam bentuk lingkaran yang tidak akan pernah putus, semakin lama semakin bermutu.

Mengakhiri surat ini, bersama-sama dengan para imam, diakon dan semua pelayan umat, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para Ibu/Bapak/Suster/Bruder/ adik-adik kaum muda, remaja dan anak-anak semua yang dengan satu dan lain cara ikut terlibat dalam perutusan Gereja Keuskupan Agung Jakarta, baik untuk kebaikan Gereja sendiri maupun untuk kebaikan bersama dalam masyarakat yang lebih luas. Seperti Simon Petrus dan kawan-kawannya, kita pun dengan cara yang berbeda-beda, dipanggil dan diutus untuk menjadikan siapa pun yang kita jumpai dalam hidup kita, makin beriman, makin bersaudara, makin berbelarasa. Banjir belarasa sebagai reaksi terhadap bencana banjir yang beberapa waktu yang lalu menimpa, menunjukkan bahwa semboyan yang diangkat dalam masa Prapaskah ini bukanlah semboyan kosong, melainkan cermin berjalannya pembaharuan hidup. Semoga demikianlah seterusnya. Salam dan Berkat Tuhan untuk Anda semua, keluarga dan komunitas Anda.

 

ttd.

+ I. Suharyo

Uskup Keuskupan Agung Jakarta