You are here : Home Artikel 100% Katolik-Indonesia Jadi Katolik yang Jernih, Kuat, Sopan, dan Toleran

Jadi Katolik yang Jernih, Kuat, Sopan, dan Toleran

Gereja Paroki Trinitas, Cengkareng, lahir, tumbuh, dan besar di tengah-tengah masyarakat majemuk Kota Metropolitan Jakarta – khususnya tentu  mengacu kepada daerah Cengkareng sebagai daerah wilayah Paroki.  32 tahun peziarahan Paroki Trinitas diwarnai oleh suka dan duka hidup berparoki baik ke dalam (antar sesama umat) maupun ke luar (antara umat Katolik dan umat non-Katolik di sekitarnya).

Tak sedikit umat Paroki Trinitas yang masih mengenang sulitnya membangun Trinitas yang akhirnya megah berdiri dan diberkati di tahun 1990.  Sekarang pun Trinitas kembali sedang membangun gereja Santa Maria Imakulata sebagai ujud pemekarannya.  Hambatan tentu ada, itu tak bisa dipungkiri.  Mengapa hal demikian bisa terjadi?  Apakah karena kita sebagai umat Katolik belum bisa membaur diri – atau istilah yang biasa dipakai adalah: masih hidup eksklusif?  Umat Katolik kurang mampu menyentuh masyarakat non-Katolik yang menjadi tetangganya?  Kurang mau mengambil bagian dalam menciptakan kerukunan hidup beragama di negara ini?  Perlukah kita membina hubungan atau relasi yang baik dengan sesama yang bukan beragama sama dengan kita (baca: non-Katolik)?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, Sabitah mencoba mengontak Romo Henricus Asodo, OMI, Rektor Seminari Tinggi OMI, Yogyakarta, yang juga duduk dalam Komite Dialog Antar Agama dan Misi Sekuler, pada Konferensi Regional OMI Asia-Oceania (The Committee for Inter-Religious Dialogue and Mission to Secularity, The Asia Oceania Regional Conference – AORC/AOIRD-MS).

Idealnya, umat berbagai agama dapat hidup bersama dengan rukun di satu negara, tapi mengapa hal ini sulit dicapai di negara kita?

“Saya ingin bertanya: apakah benar bahwa idealnya umat berbagai agama dapat hidup rukun di satu negara? Bukankah lebih ideal lagi kalau satu agama untuk satu negara? Di sejumlah negara ada fakta bahwa satu agama, satu negara. Nampaknya, itu ideal sekali.  Namun, tetap saja dalam satu agama dan satu negara ada pertentangan dan pertikaian.  Pihak konservatif melawan pihak moderat; Klaim lebih asli melawan klaim lebih sesat; Persaingan antar pemimpin satu agama itu, dan lain sebagainya.  Kalau demikian keadaannya, memang menjadi serba sulit atau malah tidak ada pilihan sama sekali. Konsep “satu negara satu agama” ternyata tidak juga mampu menjamin kehidupan yang ideal, apalagi kalau dalam satu negara ada berbagai agama, bisa lebih runyam lagi.  Maka menurut saya, yang menjadi pokok masalah adalah egosentrisme dalam setiap agama. Hampir semua agama memusatkan perhatian pada kepentingan agamanya itu sendiri dengan klaim kebenaran mutlak mengungguli agama-agama yang lain. Hal ini secara asali – atau  pada dasarnya - tidak bisa dipisahkan dari kehadiran sebuah agama. Agama memang selalu mengandung unsur egosentris atau eksklusif.   Kita bisa membayangkan kalau egosentis hidup dengan egosentris, atau eksklusif hidup berdampingan dengan eksklusif,  bagaimana jadinya?  Sungguh menjadi suatu perjuangan yang berat untuk bisa hidup rukun dalam keberagaman agama, bukan?”

Kalau melihat hal demikian, siapa yang harus bertanggungjawab untuk bisa mengubah keadaan?

“Siapa yang harus bertanggungjawab? Tidak ada yang lain kecuali PEMIMPIN AGAMA MASING-MASING.  Mau diakui atau tidak, “ajaran” pemimpin agama sangat menentukan bagi sikap dan hidup umat dalam komunitas agama yang dipimpinnya. Para Pengkhotbah, Ustadz, Kyai, Pastor, Pendeta, Evangelis, Pandita, Bikkhu, dan seterusnya adalah pribadi-pribadi yang paling bertanggungjawab. Merekalah yang mampu membentuk opini publik bagi agamanya dan membentuk umat yang dipimpin dan dididiknya.  Atmosfer dan warna ajaran sangat ditentukan oleh para pemimpin agama, bukan pada Kitab Suci yang diwariskan kepada masing-masing agama.  Mengapa demikian? Karena merekalah yang memiliki kuasa mentafsirkan Kitab Suci, menyampaikan ajaran, dan pada banyak kesempatan juga menentukan benar atau sesat, haram atau halal, dan sesuai atau berlawanan dalam kacamata agamanya. Oleh sebab itu, kita tidak bisa meletakkan tanggungjawab ini kepada Negara.  Negara hanyalah ekosistem yang memungkinkan agama berkembang atau punah.  Negara yang baik akan memberi suasana untuk berkembangnya agama.  Negara yang kurang baik akan menghambat, melarang, atau malah menganiaya serta membasmi agama.  Kita harus kembali ke Pemimpin Agama supaya kita bisa hidup rukun bersama agama-agama lainnya. Bagaimanapun juga, umat/jemaat adalah kawanan dan pemimpin adalah gembalanya.”

Dalam pembangunan Gereja Santa Maria Imakulata juga terjadi keberatan dari sementara orang yang membawa-bawa bendera agama.  Sampai sejauh mana kita sebagai umat Katolik bisa mentolelir perbuatan mereka?

“Jawaban atas pertanyaan sebelum ini dapat dipakai untuk menjelaskan kasus yang ditanyakan sekarang. Mengapa pembangunan gereja dipersulit di mana-mana? Jawabannya sangat jelas dan pasti, karena ada sejumlah pemimpin agama tertentu yang “egosentris dan eksklusif” sehingga tidak siap atau tidak mau hidup dengan agama lain. Alasan lain - apapun yang dicari-cari seperti  kesenjangan ekonomi, stabilitas masyarakat, yuridis formal, dan lain sebagainya - adalah omong kosong yang membelokkan dan mengelabui dari sikap dasar sejumlah pemimpin agama yang benar-benar tidak mau hidup berdampingan bersama. Hal ini tentu tidak mau diakui terang-terangan karena memang amat sangat pribadi dan menyangkut keyakinan eksklusif mereka.  Bagaimana hal ini mesti disikapi? Apa yang sudah terjadi, yaitu adanya perizinan resmi dari Negara dan persetujuan dari sesama warga yakni pemimpin/umat agama-agama lain di sekitarnya adalah sikap yang paling tepat dalam masalah ini. Setidaknya, kita sudah menempuh 2 jalur yang benar dan aman, yaitu kita sudah diizinkan oleh Negara untuk membangun sarana beribadah dan kita pun telah didukung oleh agama-agama lainnya.  Nah, orang-orang yang masih menentang memang mesti dihadapi dalam 2 jalur yang sama. Pertama, kita bisa menghadapkan mereka kepada Negara. Kalau perlu, memang kita mesti memperkarakan mereka ke pengadilan. Apapun hasilnya, hal ini sah kita lakukan karena kita sudah mendapat izin – yaitu izin prinsip dan Izin Mendirikan Bangunan/IMB. Siapa yang menentang Negara, harus dihadapkan kepada Negara. Kedua, kita perlu terus membina kedekatan dengan sesama warga dari berbagai agama. Para pemimpin agama yang inklusif  - atau terbuka - patut terus kita gandeng, bukan demi kepentingan pembangunan gereja, tetapi demi kerukunan bersama. Kita harus hidup rukun dengan orang-orang yang mau rukun. Kita terus berkomunikasi dengan para Kyai, Ustadz, Pendeta, dan siapa saja yang memiliki “kejernihan” dalam beragama atau hidup bermasyarakat. Dengan demikian kita akan tetap kuat untuk berhadapan dengan pemimpin agama atau siapa saja yang egosentris dan eksklusif itu.”    

Sebagai umat Katolik, tentunya kita semua ingin selalu menjadi 'pembawa damai'.  Dalam hal toleransi dan hubungan baik antar agama, apa yang bisa kita buat?

“Membawa damai dan toleransi adalah ajaran yang sangat mulia yang sering kita dengar dari para pemimpin agama dan pengkhotbah baik di gereja, mesjid, vihara atau tempat ibadah lainnya, dan juga dari para pemimpin Negara. Hal ini bukan hanya retorika kosong atau sekedar pemoles bibir, tetapi sungguh ingin dihidupi dan diajarkan terus. Kita bisa menemukan banyak pemimpin yang jernih dalam agama-agama besar di Negara kita. Mimpi yang bisa kita wujudkan bersama adalah bahwa para pemimpin agama yang jernih ini dapat bertemu dan berdialog serta akrab satu sama lain. Hal ini mutlak diperlukan. Tidak ada jalan lain yang bisa kita tempuh untuk hidup yang harmonis dan toleran dalam beragama di negara ini, selain mencoba untuk terus bertemu dan berdialog antar agama.  Masalah yang muncul justru masalah interen dalam agama itu sendiri.  Meminjam istilah dalam tradisi Yahudi, di setiap agama itu akan selalu selalu saja ada kaum “Saduki”, “Farisi”, “Zelot”, “Imam Kepala”, “Penatua Jemaat”, dan juga yang tak boleh dilupakan ada “Anawim” - orang-orang kudus Allah.  Mari bersama kita teliti,  apakah kaum-kaum itu ada di dalam agama Katolik? Protestan? Islam? Buddha? Hindu?  Konghucu?  Kesan saya, di setiap agama ada terdapat kaum-kaum itu. Maka menjadi tidak mudah, bukan, untuk bisa hidup dalam satu agama namun terkotak-kotakkan dalam kelompok yang berbeda? Ini adalah salah satu jawaban yang cukup rasional untuk ‘ketegangan tiada henti’ dalam hidup beragama. Mengapa muncul kaum-kaum itu?  Tak seorangpun sengaja menciptakannya, semua mengalir dari keunikan dan kebebasan hakiki manusia. Kita diciptakan dengan kebebasan dan keunikan yang kita miliki.  Lalu, apa yang bisa dilakukan?   Mendekati orang-orang yang mau bersahabat dan berpikiran jernih, kemudian bersama-sama memecahkan masalah-masalah bersama dalam beragama. Alangkah baiknya kalau kita mengundang pemimpin-pemimpin agama lain untuk duduk bersama guna mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Nampaknya hal ini akan menjadi efektif kalau kita sungguh mau mencobanya!”  

Harapan untuk seluruh umat Paroki Trinitas dalam menjaga hubungan baik dengan umat non-Katolik?

“Saya berharap kita semua dapat berpikir jernih.  Tegurlah kalau ada pemimpin yang eksklusif dan egosentris.  Pada zaman seperti sekarang ini,  kita harus memiliki “sahabat dari syahadat” yang lain.  Mau tidak mau kita harus membangun persahabatan dengan kelompok agama-agama lain. Salah satu cara yang baik adalah kita tetap berlaku inklusif dan bersahabat dengan semua kelompok agama-agama lainnya. Harapan sederhana saya adalah kita milikilah “teman akrab” dari umat beragama lainnya.  Nampaknya ini amat sederhana dan naif, namun masih boleh dicoba.  Bersediakah?  Juga, sebagai umat Katolik, kita perlu memiliki pribadi Katolik yang kuat.  Ini amat menentukan.  Jangan kita hanya menyebut diri ‘Katolik’ dan tidak mampu menyelami kedalaman arti kata itu sendiri.  Kita perlu selalu jernih dan kuat dalam beragama, tetapi juga sopan dan toleran kepada sesama kita yang berbeda agama.” (tis)

(Sumber: Majalah Sabitah No. 43, Mei-Juni 2010)