Gereja dan Simbol
Ibadah di teras
Hari Minggu, Misa jam 08.30 di Gereja Trinitas. Matahari sudah mulai menampakkan wajahnya. Jalan kecil di depan gereja ramai dan padat. Ada yang datang dari Jalan Cendrawasih dan juga Jalan Utama, maka kendaraan berjalan pelan-pelan. Untuk menghindari kejadian itu saya biasanya selalu naik motor ke gereja supaya pulangnya lebih cepat. Saya sering datang ke gereja kurang dari 5 menit sebelum Misa dimulai, malah cenderung terlambat. Kalau sudah begitu, parkiran motor sudah penuh, bahkan di sela-sela parkiran juga sudah sesak. Saya parkir paling belakang. Untungnya saya selalu pulang duluan, tidak perlu menunggu yang lainnya. Tempat parkir menjadi barometer apakah gereja penuh atau sedikit umat yang datang. Kalau gereja penuh, agak susah mendapatkan kursi, terutama di dalam bangunan gereja. Walau ada satu atau dua kursi yang kosong, tapi agak sungkan juga rasanya untuk masuk ke dalam gereja. “Nggak enak mengganggu yang lain...” Biasanya saya selalu duduk di teras gereja.
Kebanyakan kursi kosong berada di teras. Teras merupakan perpanjangan dari ruang gereja kalau ruangan sudah penuh. Kita masih bisa mengikuti Misa sama seperti umat di dalam ruangan walaupun agak jauh dari Altar. Tetapi dalam hal suasana, tentu ada perbedaan. Dari kursinya saja ada perbedaan... Kalau di dalam gereja, kursinya panjang dan ada tempat berlututnya. Jadi semua tata liturgi dapat kita ikuti. Sedangkan kalau di teras, kita hanya bisa berdiri dan duduk. Pas giliran berlutut, umat yang di teras hanya duduk saja - walau ada juga terlihat umat yang ikut berlutut juga di lantai. Secara fisik juga ada perbedaan antara bangunan dalam dengan teras. Plafon di teras tidak tinggi, hanya sekitar 2,5 meter saja. Posisinya juga sedikit di bawah bangunan inti. Pandangan ke arah Altar agak terhalang oleh tiang-tiang besar yang menyanggah bangunan gereja. Enaknya duduk di teras adalah udaranya tidak terlalu panas, kita masih bisa merasakan hembusan angin. Asal jangan duduk berhadapan -langsung dengan sinar matahari - dijamin pasti berkeringat.
Selain itu duduk di teras banyak godaannya, sehingga konsentrasi doa sering agak pecah. Ada orang yang lalu lalang di belakang, ada yang datang lebih terlambat dan ada juga anak-anak yang berlarian. Semuanya itu sudah menjadi pemandangan yang biasa. Itulah konsekuensinya kalau duduk di teras. Misa dapat diikuti sampai akhir tapi pulang dengan perasaan hampa.