You are here : Home Renungan Renungan Oleh Rm. Ign. Sumarya, SJ Sabtu, 29 Oktober 2011

Sabtu, 29 Oktober 2011

“Barangsiapa meninggikan diri ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri ia akan ditinggikan”

(Rm 11:1-2a.11-12.25-29; Luk 14:1.7-11)

Pada suatu hari Sabat Yesus datang ke rumah salah seorang pemimpin dari orang-orang Farisi untuk makan di situ. Semua yang hadir mengamat-amati Dia dengan saksama…. Karena Yesus melihat, bahwa tamu-tamu berusaha menduduki tempat-tempat kehormatan, Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: "Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah. Tetapi, apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." (Luk 14:1.7-11), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· Kerendahan hati merupakan keutamaan utama dan pertama, kebalikan dari sombong. Sebagai orang beriman atau beragama kita semua dipanggil untuk hidup dan bertindak dengan rendah hati kapanpun dan dimanapun. “Rendah hati adalah sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan dan menomor-satukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun dalam kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Menenggang perasaan orang lain atau menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya kiranya sungguh merupakan pengorbanan atau penderitaan. Maka wujud konkret rendah hati pada masa kini hemat kami adalah tidak mengeluh ketika harus berkorban atau menderita, ketika menghadapi tugas atau pekerja berat yang sarat dengan tantangan, hambatan atau masalah. Mengeluh merupakan tindakan lembut dari marah, yang berarti mengehendaki apa yang menyebabkan saya mengeluh atau marah jangan ada; dengan kata lain mengeluh merupakan salah satu wujud ‘budaya kematian’, tindakan atau perilaku yang mematikan. Maka kami mengajak segenap umat beriman atau beragama yang setia pada iman atau agamanya: hendaknya tidak mengeluh ketika menghadapi tantangan, hambatan atau masalah karena kesetiaan pada iman atau ajaran agama. Kami berharap kepada kita semua: hendaknya semakin tambah usia dan berpengalaman berarti semakin rendah hati, ingat pepatah “bulir/batang padi semakin berisi semakin menunduk”.


· Maka aku bertanya: Adakah Allah mungkin telah menolak umat-Nya? Sekali-kali tidak! Karena aku sendiri pun orang Israel, dari keturunan Abraham, dari suku Benyamin. Allah tidak menolak umat-Nya (Rm 11:1-2a). Allah adalah Mahakasih, maka kita sebagai umatNya dalam keadaan atau situasi apapun senantiasa akan diterima olehNya ketika kita menghadapNya dengan rendah hati. Maka ketika kita berdosa hendaknya dengan jujur mengaku dosa kepada Allah serta mohon kasih pengampunanNya, dan secara konkret juga minta kasih pengampunan dari mereka yang telah kita salahi atau sakiti karena kata-kata atau tindakan kita yang tak bermoral atau tak berbudipekerti luhur. Selanjutnya ketika kita telah menerima kasih pengampunan hendaknya juga menjadi saksi kasih pengampunan, artinya senantiasa rela dan besar mengampuni siapapun yang menyalahi atau menyakiti kita. Dengan kata lain sebagai umat Allah, entah agama atau keyakinannya apapun, kita diharapkan saling terbuka satu sama lain tanpa malu dan ragu-ragu. Maka dengan ini kami mengingatkan dan mengajak kita semua: hendaknya saling terbuka satu sama lain sungguh terjadi di dalam keluarga atau komunitas sebagai umat basis. Maka para orangtua atau bapak-ibu kami harapkan dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam saling terbuka satu sama lain. Maaf jika agak porno: para bapak-ibu, sebagai suami-isteri hendaknya tidak hanya terbuka satu sama lain secara phisik saja alias saling telanjang satu sama lain seperti saat berhubungan seksual, tetapi juga tebuka satu sama lain apa yang ada di dalam pikiran, hati maupun jiwa. Marilah kita sadari dan hayati kemurahan hati Allah dan kemudian kita salurkan kemurahan hati Allah kepada saudara-saudari kita dengan bermurah hati kepada mereka, artinya memberi perhatian kepada siapapun, terutama mereka yang kurang diperhatikan.

Berbahagialah orang yang Kauhajar, ya TUHAN, dan yang Kauajari dari Taurat-Mu, untuk menenangkan dia terhadap hari-hari malapetaka. Sebab TUHAN tidak akan membuang umat-Nya, dan milik-Nya sendiri tidak akan ditinggalkan-Nya; sebab hukum akan kembali kepada keadilan, dan akan diikuti oleh semua orang yang tulus hati.” (Mzm 94: 12-13a.14-15)