You are here : Home Artikel Lingkungan Hidup Sampah Pun Mengeluh

Sampah Pun Mengeluh

Aku yang selalu disia-siakan,
Aku dilempar di jalan, di kali - maka sukurin, kalinya jadi mampet.
Aku diinjak-injak, bahkan aku dibakar - maka rasain, bumi semakin panas, semua sakit kanker, mandul,.. dll.
Bila aku telah menggunung, aku mengeluarkan asap dengan aroma yang dahsyat bagi orang yang sedang flu.  Biila aku meledak, maka malapetaka bagi manusia seperti tragedi Leuwigajah... hiiiii... merinding bulu romaku.

Aku selalu dimaki-maki, karena keharuman aromaku.
Padahal aku selalu setia, ke mana pun dia pergi, aku selalu ikut, karena aromaku melekat pada pakaiannya.
Namun masih saja aku dimaki dan dimaki, sampai-sampai di Bantar Gebang, di Bojong, aku didemo ribuan orang karena aromaku.


Lebih menyakitkan lagi, ketika aku berada dalam mobil Mercy.
Ketika itu aku sedang menikmati dinginnya AC, empuknya jok, merdunya lagu, serta harumnya air freshener. Tiba-tiba aku dilempar begitu saja keluar mobil yang saat itu sedang melaju 150 km per jam.
Terdamparlah aku di jalanan, sungguh beruntung, mobil di belakang melindas aku.

Kala itu aku berada dalam istanaku yang hitam.
Motor yang membawaku melaju dengan kencangnya di tepian kali.
Tiba-tiba motor berhenti dan dengan gaya seorang pelempar cakram, aku dilempar ke kali.
Mulanya kampul-kampul, aku mengambang di atas air, namun karena pintu istanaku tidak rapat, masuklah air ke dalam, makin lama aku makin tenggelam dalam lumpur, maka aku bernafas di dalam lumpur.

Kurang berjasa apa aku pada manusia?
Buah-buahan kubungkus dengan kulit buah, segala rempah-rempah kubungkus dengan kulitnya, segala barang belanjaan kubungkus, kenapa manusia bertindak begitu kejamnya terhadap aku?
Hai manusia, begitukah perlakuanmu terhadap aku yang sudah berjasa terhadapmu?

Karena perlakuan yang tidak "berperi-kesampahan" itulah maka aku bersama kawan-kawanku melakukan demonstrasi besar-besaran.
Tak hanya ribuan, tetapi milyaran bahkan trilyunan.
Gantian dong....
Walaupun tanpa orasi alias ora ono isi, kami berbaris dan bertumpuk di kali, menyumbat kali, membuat barikade.
Maka meluaplah air ke mana-mana, terjadilah banjir bandang.
Motor, Mercy, Jaguar, dan Bajaj sekalipun terendam air.
Hatiku mengatakan... emang gue pikirin... mampus lu....
Makanya jadi orang jangan sewenang-wenang, rasakan pembalasanku.
Pantaslah kalau kotamu mendapat Piala Adikotor, bukan Adipura, dengan klasifikasi "kota terjorok" he.. he.. he... walikotanya kayak mana tuch...?

Namun ini, banyak pihak yang memperhatikanku.
Mulai dari orang miskin sampai orang kaya.
Dari murid sampai kepala sekolah.
Dari tukang sapu sampai bapak menteri, semua memperlakukanku dengan ramah.

Aku dipilah-pilah sesuai dengan "kebangsaan"ku masing-masing.
Aku dimandikan, dicuci bersih, dijemur di panas matahari agar aku tidak masuk angin.
Agar aku dapat diterima kembali oleh "leluhur"ku.
Agar aku dapat berbakti kembali pada "jurangan - bos"ku yang baru.
Dengan begitu, aku bisa tampil beda, lebih keren, bisa mejeng lagi.
Karena mereka tidak mengenali lagi siapa aku dulu.

Nah siapakah aku?

(Sumber: Sabitah no. 21 tahun 2006)