You are here : Home Artikel Keluarga Mencari Allah dalam Keluarga

Mencari Allah dalam Keluarga

Kembali kita jelang Natal, sebuah peristiwa keluarga,  karena kita bersama menyambut seorang Bayi (Tuhan Yesus Kristus) dalam sebuah keluarga (Santo Yosef dan Santa Maria).  Kalau berbicara tentang keluarga, mungkin akan menjadi lebar dan luas, karena dapat juga menyangkut keluarga besar dari 2 orang yang disatukan dan membentuk keluarga baru.  Kali ini, marilah kita bersama berbicara tentang Keluarga Inti Katolik yaitu suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang menjadi anggota Gereja Katolik karena pembaptisannya, karena pernikahannya, karena lahir dalam keluarga Katolik.

Dalam dunia moderen yang serba maju dan serba cepat seperti sekarang ini, keluarga-keluarga Katolik yang tinggal di Jakarta mau tak mau harus mengikuti arus hiruk-pikuk dunia sekelilingnya.  Kerasnya perjuangan untuk dapat bertahan dalam hidup yang demikian ini membuat banyak keluarga Katolik mengalami keletihan jasmani dan rohani.  Hidup bagai robot dengan waktu-waktu yang serasa telah terprogram dan terjadi demikian setiap harinya.  Rutinitas yang membuat jenuh, belum lagi kemacetan parah yang sering melanda Ibukota Jakarta.  Masih adakah tersisa waktu untuk berkumpul bersama keluarga?

Maka menjadi tepat tema Natal tahun ini yang dicanangkan oleh Keuskupan Agung Jakarta: “Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga”.  Kita bersama sekali lagi diingatkan untuk masuk dalam keluarga kita masing-masing, untuk menghadirkan Allah bagi sesama anggota keluarga, untuk berbagi cinta dan belas kasih Allah di dalam keluarga kita – kepada orang-orang yang sangat kita cintai, yang dipercayakan Tuhan kepada kita.

 

Keluarga Katolik dan Tantangan Masa Kini

“Keluarga menjadi lingkup etika dan moral perdana, kendati mengalami krisis budaya besar. Sebagai sel terkecil masyarakat, kita belajar hidup bersama dalam perbedaan, dan orangtua mewariskan iman pada keturunannya. Keluarga harus menjadi tempat perlindungan, tempat setiap orang menemukan ketentraman dan kedamaian. Sebab di sinilah iman berkembang dan tumbuh. Iman yang berkembang di tengah kehangatan keluarga akan menghasilkan manusia yang semakin menyadari akan perannya sebagai bagian dari masyarakat. Dengan demikian keluarga menjadi benteng bagi setiap nilai-nilai negatif yang tumbuh di tengah masyarakat yang semakin moderen.” (Seruan Apostolik  Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium)

Sungguh tepat seruan yang disampaikan oleh Paus Fransiskus.  Keluarga adalah sel terkecil dalam masyarakat.  Kumpulan keluarga juga membentuk Gereja.  Masa depan sebuah negara ada pada generasi penerus yang dilahirkan di dalam keluarga-keluarga.  Masa depan Gereja pun ada di tangan anak-anak yang lahir dan dibesarkan di dalam keluarga-keluarga Katolik. Sadarkah kita akan hal ini?

Banyak orangtua yang terpaksa harus bekerja keras berdua untuk mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.  Di saat kedua orangtua meninggalkan anak-anaknya untuk mencari  dan mencukupi nafkah hidup,apakah orangtua juga memikirkan solusi terbaik pendampingan anak-anaknya selama mereka tidak ada di rumah?

Dalam hal pewarisan iman kepercayaan kepada anak-anak, apakah orangtua menyadari kewajiban mereka untuk menjadi yang pertama dan utama dalam menanamkan iman kepada anak-anaknya?    Sering terjadi, orangtua karena kesibukan yang luar biasa, tidak mampu lagi untuk menyediakan waktu untuk memperkenalkan Tuhan kepada anak-anaknya. Tanggungjawab penerusan iman ini malah diserahkan orangtua kepada sekolah dan Gereja.  Tak sedikit orangtua yang menuntut Gereja dan sekolah, lalu menyalahkan Gereja dan sekolah jika anak-anaknya menjadi “rusak” karena jauh dari iman.  Sedikit yang menyadari peran utama orangtua dalam pendidikan iman anak-anaknya.

Di era serba maju dan canggih ini, tak sedikit orangtua yang terkesan lepas kendali dalam memperkenalkan teknologi canggih kepada anak-anaknya.  Semoga orangtua masih mampu menakar baik-buruk dampak teknologi canggih bagi anak-anaknya, sehingga orangtua masih dapat menentukan batas-batas penggunaannya  kepada anak-anaknya.

Menarik yang dipaparkan Romo F.X. Rudi Rahkito Jati, OMI pada Rekoleksi Awal Orangtua Calon Penerima Komuni Pertama pada awal November lalu.  Romo Rudi prihatin akan daya  ketertarikan yang kuat dari telepon genggam “smartphone” yang mampu membawa dunia yang luas ini masuk dalam genggaman tangan kita.  Lewat “smartphone”, seorang remaja puteri SMP dapat melakukan apa pun, termasuk mengirim foto dirinya tanpa busana sehelai pun kepada teman sekelasnya yang berbeda jenis.  Ini bukan cerita isapan jempol belaka, tetapi nyata terjadi di Paroki kita.  Gejala apakah ini?

Media-media sosial yang dapat dijangkau dengan internet dari telepon genggam atau gadget canggih lainnya membuat anak-anak kita dengan mudah bergaul luas dengan banyak orang di dunia maya.  “Chatting” istilahnya.  Apakah teman “chatting” anak kita memang dikenalnya dalam keseharian?  Atau hanya sebatas orang yang bertemu di dunia maya dan menjadi akrab?  Siapa mereka itu?  Apa yang jadi topik pembicaraan mereka?

Kegemaran “chatting” juga membawa dampak sosial yang kurang menguntungkan.  Anak-anak – bahkan mungkin orangtua sendiri – menjadi malas bersosialisasi di dunia nyata.  Malas bertemu dengan orang lain.  Malas bicara karena sudah terbiasa bicara secara tertulis.  Keasyikan “chatting” dan main gadget juga membuat relasi dalam keluarga menjadi dingin.  Masing-masing asyik dengan dunianya sendiri.  Menjadi pemandangan biasa sekarang ini di rumah-rumah makan untuk melihat keluarga yang makan bersama, duduk bersama di satu meja, tetapi masing-masing asyik dengan gadgetnya  dan lupa akan kehadiran anggota keluarga lainnya di meja makan itu.  Sebuah kenyataan yang cukup memprihatinkan, bukan?!

Memang ada sisi positif dari teknologi canggih dan informatika, tapi orangtua tetap harus memiliki kewaspadaan dan antisipasi atas kejadian-kejadian negatif yang mungkin dialami keluarga sebagai konsekuensi  dunia maju sekarang ini.

 

Di Mana Allah dalam Keluarga?

“Apakah Anda mengajarkan anak-anak Anda berdoa?  Apakah Anda mempersiapkan anak-anak  – bersama dengan para imam – untuk menerima Sakramen-Sakramen yang harus mereka terima di saat mereka masih muda: Pengakuan Dosa, Ekaristi, dan Krisma?  Apakah Anda menyemangati anak-anak di kala mereka sakit untuk mengingat penderitaan Kristus, memohon pertolongan dari Bunda Terberkati dan para kudus?  Apakah Anda berdoa Rosario bersama (keluarga)?  Apakah Anda berdoa bersama anak-anak Anda, dengan komunitas lokal Anda, setidaknya sesekali? “ (Seruan Apostolik Santo Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio)

Apa jawaban kita sebagai orangtua atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas?

Kita yang telah menerima baptisan, diterima menjadi anak-anak Allah dan diutus untuk mewartakan Kabar Gembira penebusan dunia.  Kita membawa Allah dalam diri kita, maka dengan sukacita kita membagikan Allah yang kita kenal dan imani kepada sesama kita, yang terutama tentunya kepada para anggota Keluarga Inti Katolik kita: suami/istri dan anak-anak kita.

Lewat saling berbagi Allah, kita saling menguatkan dan bertumbuh dalam iman dan pengharapan yang sama.  Kita memiliki cinta kasih dan belas kasih yang sama yang kita teladani dari Allah. Keluarga kita akan menjadi keluarga yang berjalan di jalan yang sama, dengan tujuan yang sama.  Keluarga kita akan menjadi bagian dari Gereja dan masyarakat dengan pondasi iman yang mantap.

“Teladan kejujuran Anda dalam berpikir dan bertindak, yang disatukan dalam doa bersama, adalah pelajaran hidup dan tindakan ibadah yang istimewa.  Dengan demikian, Anda membawa damai ke dalam rumah Anda: “Pax huic domui” – Damai sejahtera bagi rumah ini.  Ingatlah, hanya dengan demikianlah Anda membangun Gereja.” (Seruan Apostolik Santo Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio)

Berjumpa dengan Allah dalam keluarga pada hakekatnya adalah berjumpa dengan para anggota keluarga yang memiliki Allah dalam hatinya.  Allah ada dalam hati suami, hati istri, hati anak-anak.   Keluarga yang saling berbagi Allah lewat keutamaan-keutamaan Kristiani, yang bersama berjuang untuk menghadirkan Allah di setiap waktu bagi orang-orang yang dicintai dan saling mencintai. (smartis)