You are here : Home Artikel Keluarga Menjadi Orang Tua 17 Menit

Menjadi Orang Tua 17 Menit

Sebut saja namanya Ibu Tika (35 thn), yang kewalahan melihat putranya enggan menyelesaikan tugas sekolahnya. Padahal, menurut ibu dari dua anak ini, dirinya sudah berkorban banyak bagi kemajuan belajar anak-anaknya. Mulai dari menyiapkan sarapan pagi, mengantar anak ke sekolah dan menemaninya mengerjakan PR di malam hari. Kesibukannya sebagai manajer di sebuah perusahaan multi-nasional memang membatasi waktu dan ruang gerak ibu ini untuk menemani kedua putranya bermain.

Di sisi lain, suaminya bekerja 13 jam sehari, enam hari seminggu. Memang secara finansial, kondisi ekonomi keluarga Bu Tika terjamin. Namun yang menjadi kendala saat ini adalah putra sulungnya, Anto (10 thn) yang semakin banyak ‘bertingkah,’ mulai dari malas mengerjakan PR, sering bolos sekolah dan ‘menentang’ orangtua dan gurunya.

Sedih hati Ibu Tika melihat putranya memancarkan rasa benci yang mendalam terhadap disiplin yang diterapkan oleh kedua orangtuanya. Dulunya, Anto seorang putra yang tekun dan patuh pada orangtua.

Maka, Bu Tika dan suami memutuskan cuti selama dua hari guna menemani Anto menemui seorang psikolog anak. Melalui konseling, Anto mengaku bahwa dirinya kesal terhadap kedua orangtuanya yang cenderung memperlakukannya sebagai robot. Sejak kecil, Anto merasa kurang diberi kepercayaan dan kebebasan untuk melakukan hal- hal sesuai keinginannya sendiri.

Tanpa disadari, Ibu Tika yang dulu pernah gagal menjadi seorang dokter secara tidak langsung mengharapkan agar Anto menjadi dokter guna mewujudkan harapan masa kecilnya dahulu. Alhasil, sejak dini Anto sudah dicekoki dengan berbagai les: Matematika, Bahasa Inggris, dan bimbingan belajar. Waktu bermain Anto menjadi sangat terbatas dan dia merasakan dirinya seperti tenggelam dalam pusaran kesibukan yang tiada henti.

Dalam tulisannya di ruang Psikolog, Anto menggambarkan kondisinya sebagai berikut:

Sebenarnya, aku sayang kepada papa mamaku. Dan mereka juga sayang benget sama aku. Tapi aku merasa kesibukan belajar yang dilimpahkan kepadaku terlalu berat. Aku seperti terkurung oleh berbagai les dan aturan yang ditetapkan oleh papa mamaku. Aku lelah menahan semua ini, kepalaku yang kecil dipenuhi berbagai agenda belajar yang membuatku sesak. Ini tanggung jawab yang terlampau besar untuk aku yang baru berumur 10 tahun.

Hidupku ibarat banjir yang mengalir tanpa ruang bernafas. Aku mencoba tetap mengapung dengan keceriaan yang palsu. Orangtuaku terus menyuruhku berenang sementara aku megap-megap ingin tenggelam. Saya benci semua kesibukan yang meyesakkan ini. Demikian pula sibuknya kedua orangtuaku sampai tak ada waktu mendengarkan masalahku walau lima menit saja…”

Akhirnya, Bu Tika dan suaminya menyadari kekeliruan yang mereka lakukan selama ini. Kekayaan materi yang mereka kumpulkan untuk masa depan anak harus dibayar mahal dengan kehampaan emosi dan kesepian anak-anaknya yang seharian ditemani televisi, internet, supir dan pembantu. Bu Tika kemudian memutuskan bekerja paruh waktu dan suaminya hanya bekerja lima hari seminggu. Sejak itu, rumah tangga Bu Tika menjadi lebih harmonis dan Anto kembali rajin bersekolah dan berprestasi.

Saat ini, menjadi orang tua telah menjadi profesi yang sangat mulia dan penuh tantangan. Kondisi ekonomi memaksa suami istri untuk bekerja. Kondisi Jakarta yang macet membuat orangtua menghabiskan sekitar 3- 4 jam setiap hari di jalanan. Alhasil, waktu yang tersisa untuk anak sangat terbatas dan orangtua sudah kelelahan di rumah. Bahkan ada beberapa anak yang hanya bertemu orangtuanya selama 17 menit saja setiap harinya.

Anak yang butuh kasih sayang, sentuhan dan didengarkan menjadi uring-uringan karena kurangnya waktu berkualitas bersama orangtua. Mereka adalah makhluk mungil yang butuh pendampingan. Banyak orangtua yang merasa bersalah dan membayarnya dengan memanjakan anak dengan berbagai fasilitas: video game, internet, gadget terbaru, makanan dan minuman berlimpah di kulkas dan pembantu rumah tangga yang siap melayani si kecil. Anak menjadi ‘lembek’ dan karakternya terbentuk oleh pengaruh media dan lingkungan yang memborbardirnya menjadi individu yang konsumtif dan ikut arus.

Jauh dalam lubuk hatinya, anak hanya butuh ditemani, didengarkan, disentuh dengan kata- kata yang hangat dan tatapan mata yang teduh dari orangtuanya. Namun kesibukan membuat orang tua meninggalkan si kecil tanpa sempat memeluknya lagi karena saat orangtua harus meninggalkan rumah untuk pergi kerja, si kecil masih tidur di pagi hari.

Menjadi orangtua adalah profesi yang gampang-gampang susah. Ada banyak orangtua yang siap mengikuti kuliah sampai malam hari demi mengejar gelar akademik tingkat Master dan Doktoral. Bahkan bekerja lembur di hari Sabtu dan Minggu demi penghasilan yang memadai. Namun tidak mudah menemukan orangtua yang belajar sungguh-sungguh menjadi orangtua sejati, yang mau mendampingi anak untuk bermain, belajar dan tertawa.

Anak-anak terkaya saat ini adalah mereka yang memiliki orangtua yang mau meluangkan waktu seimbang untuk bekerja dan menemani anak. Dan orangtua-orangtua sejati tidak dilahirkan, melainkan terbentuk dari ratusan ribu jam belajar. Setiap anak perlu figur orangtuanya. Dari ayah dan ibu, anak belajar mencintai, berkarya dan menjalani hidup Kristiani serta berkegiatan sosial rohani seperti Sekolah Bina Iman, Bina Iman Remaja, Antiokhia, Legio Maria, Persekutuan Doa, dan sejenisnya. Teladan yang baik dari orangtua akan membentuk karakter anak menjadi pribadi Kristiani yang kaya iman, kasih dan pengharapan.

Dalam kisah Matius 3 : 16 – 17, Allah menyatakan kasihNya kepada Yesus, PuteraNya. Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga, "Inilah anak-Ku yang ku kasihi, kepada-nyalah aku berkenan". Allah menginginkan kita pun melakukan hal yang sama kepada buah hati kita.

Rasa cinta orangtua dapat diwujudkan melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan menemani si kecil belajar dan bermain. Penghormatan tertinggi yang diberikan oleh seorang anak kepada orangtuanya adalah dengan menerima nilai-nilai didikan orang tua dan melakukan sesuatu seperti teladan orang tuanya. Mulai dari kebiasaan berdoa, bersikap sabar dan cinta kepada sesama dan Tuhan.

Anak- anak yang sehat dan bahagia akan melahirkan Gereja yang sehat dan bangsa yang unggul. Mari menjadi orangtua yang lebih baik dengan menemani si kecil berdoa, belajar, bermain dan tertawa setiap hari! (Henri Louis, S.Psi, Terapis Anak di Rumah Terapi Anak Citra 7)

(Sumber: Majalah Sabitah Edisi 49, July-Agustus 2011)