You are here : Home Artikel Keluarga Anak-Anak Mempercayai Kita, Orang Dewasa

Anak-Anak Mempercayai Kita, Orang Dewasa

"Miss Kuroyanagi, saat Anda kembali ke Jepang, ada satu hal yang saya ingin Anda ingat.  Orang dewasa meninggal sambil mengerang, mengeluhkan rasa sakit mereka.  Tapi anak-anak hanya diam.  Mereka mati dalam kebisuan, di bawah daun-daun pisang, mempercayai kita, orang-orang dewasa," demikian Tetsuko Kuroyanagi menuliskan pesan seorang kepala desa di Tanzania dalam bukunya Totto-Chan's Children (Anak-Anak Totto-Chan, terjemahan Gramedia, 2010, hal. 17).

Kuroyanagi, yang tenar karena bukunya Totto-Chan, bertutur mengenai kunjungannya sebagai Duta Kemanusiaan untuk UNICEF (United Nations Children's Emergency Fund, sekarang disebut United Nations Children's Fund pada tahun 1984-1997.

Anak-Anak: Peniru Ulung

 

Indonesia punya Hari Anak Nasional (HAN). Sejak tahun 1986, HAN dirayakan setiap tanggal 23 Juli.  Tahun ini mengusung tema "Anak Indonesia Belajar untuk Masa Depan".  Lepas dari segala atribut, formalitas, maupun seremoni HAN yang kadang tidak bisa dihindari, setidaknya secara ofisial dan nasional dikumandangkan bahwa di Indonesia hak-hak anak-anak dilindungi dan kesejahteraan mereka diperhatikan.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana tema itu hendak diterjemahkan ke dalam praktis?  Sebab, senada dengan keprihatinan Kuroyanagi, kita tahu anak-anak mempercayai kita, orang-orang dewasa, untuk mengantar mereka ke masa depan yang lebih manusiawi.

Maka kita harus sadar, bisa saja kita menjadi sangat tidak bertanggung jawab atas kepercayaan anak-anak itu kepada kita.  Kita pun harus ingat, anak-anak adalah peniru ulung.  Mereka mudah meniru apa saja yang dilihat, didengar, atau dialami dari orang-orang yang lebih dewasa di sekitarnya. Tidak peduli apakah yang ditiru itu baik atau buruk, mereka tetap mempercayai kita, orang-orang dewasa.

Anak-Anak: Totto-Chan

Tidak banyak anak yang seberuntung Totto-Chan, gadis cilik Jepang yang mengalami pendidikan dasar yang sangat manusiawi/  Totto-Chan adalah diri Kuroyanagi ketika masih kecil.  Dalam memoarnya, kita dibuat kagum pada model pendidikan yang meng-orang-kan setiap anak didik, juga pada sosok kepala sekolah dan orang-orang dewasa di sekitarnya.  Proses pembelajaran tidak dibatasi dinding ruang kelas yang menggunakan gerbong bekas kereta api.

Pendidikan dasar itu begitu membekas dalam hati Totto-Chan.  Buahnya semakin tampak ketika Totto-Chan dewasa dipilih untuk menjadi Duta Kemanusiaan untuk UNICEF. Ke mana pun dia pergi, fokus perhatiannya adalah anak-anak; bagaimana situasi hidup konkret mereka, apa saja yang menghambat pertumbuhan mereka, apa saja yang mungkin bisa dilakukan bersama untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung.

Membaca buku Totto-Chan's Children, rasanya kita dibuat miris atas situasi hidup anak-anak di negara-negara yang dikunjungi Kuroyanagi.  Tanpa menyederhanakan persoalan, dengan bahasa lugas dan kadang jenaka, dia bertutur begitu banyak anak yang hidup dalam situasi sangat tidak menguntungkan bagi proses tumbuh-kembang mereka.

Banyak anak hidup dalam jerat kemelaratan, peperangan, serta minimnya akses kesehatan dan pendidikan.  Berjuta anak kekurangan gizi atau tidak memperoleh layanan kesehatan yang memadai.  Ribuan anak dipaksa menjadi tentara cilik atau menjadi korban keganasan perang orang-orang dewasa.  Banyak anak mati mengenaskan.

Namun demikian, Kuroyanagi juga mengajak kita melihat tanda-tanda harapan di tengah situasi yang serba kelabu.  Mengagumkan sekali bahwa dalam situasi yang serba tidak kondusif, ketika Kuroyagi bertanya kepada anak-anak yang dijumpainya mengenai apa yang paling mereka butuhkan, hampir semua menjawab: "Saya mau sekolah!"

Selain sandang, pangan, papan, dan kesehatan, di mata anak-anak pendidikan rupanya adalah kebutuhan pokok yang tidak kalah penting.  Atas semuanya itu, anak-anak mempercayai kita, orang-orang dewasa.

Berpihak pada Anak

Belum lama ini saya mengunjungi sebuah toko buku untuk mencari oleh-oleh bagi seorang cucu (anak dari keponakan).  Rasanya buku adalah pilihan yang tepat.  Saya pun menuju ke bagian buku-buku anak.  Terpukau rasanya melihat beraneka ragam buku untuk anak-anak dari usia pra-sekolah sampai kelas 6 SD.  Ada ratusan judul dengan sampulnya berwarna-warni dan ilustrasi menarik.

Tetapi, ketika saya membalik-balik dua-tiga buku, saya bertanya-tanya mengapa begitu banyak data dan informasi yang sudah harus dijejalkan ke otak anak?  Tidakkah berlebihan?  Semisal, ada buku sains untuk TK.  Idenya baik, tetapi jika menilik bahasa yang digunakan dan praktikum/percobaan yang ditawarkan, rasanya lebih tepat jika buku itu menjadi panduan guru daripada untuk murid TK.  Terlalu kompleks.  Buku-buku lain yang sesuai tuntutan kurikulum, lebih berupa data atau informasi untuk dihafalkan.

Saya jadi khawatir ini adalah indikasi dunia pendidikan sudah dirambah sebagai tambang uang.  Buku-buku yang diterbitkan tidak lebih dari sekedar komoditas.  Apakah anak-anak, seperti Totto-Chan dulu, pernah ditanya, "Kalian mau belajar apa?"

Akhirnya saya mengambil buku dongeng buat cucu yagn baru kelas 1 SD.  Yang satu adalah kumpulan dongeng klasik dunia.  Satunya lagi berupa kumpulan dongeng Nusantara.  Saya lebih memilih buku dongeng daripada buku pelajaran.  Sebab dongeng akan memperkaya imajinasi dan abadi.  Tata nilai dasar di dalamnya tidak lekang waktu, formatnya sederhana, dan proporsional.

Kuroyanagi, setahu saya, memang tidak pernah mengunjungi anak-anak di Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Duta Kemanusiaan.  Namun, pasti dia akan sangat mendukung segala upaya untuk mendukung proses tumbuh-kembang anak.

Kita tidak perlu menunggu sampai menjadi setenar Kuroyanagi untuk menjadi Duta Kemanusiaan bagi anak-anak di sekitar kita.  Maka, mari kita wujudkan ujud Gereja Indonesia bulan ini dengan mengupayakan agar anak-anak mendapatkan perhatian yang menyeluruh, sehat dan imbang dalam proses tumbuh-kembang mereka.  Sebab anak-anak mempercayai kita, orang-orang dewasa. (Rm. A. Toto Subagya, SJ)

Sumber: Majalah Utusan No. 07, Tahun ke-60, Juli 2010