You are here : Home Artikel Yang Terkini Peziarahan Umat Paroki Trinitas, Cengkareng

Peziarahan Umat Paroki Trinitas, Cengkareng

Di awal tahun 1971, Mgr. Leo Soekoto, SJ, Uskup Agung Jakarta, menyerahkan Stasi Cengkareng dan Stasi Kapuk kepada Paroki Tangerang. Saat itu, Paroki Tangerang memang  mempunyai banyak Stasi mengingat rentang wilayah pelayanannya yang meliputi Ciledug - Tigaraksa, Serpong - Tanjung Pasir/ Tanjung Kait. Sebelum Romo Anton Mulder, SJ yang mengepalai Paroki Tangerang diserahi tugas tersebut, kegiatan penggembalaan umat di areal kedua Stasi itu masih dilaksanakan oleh Romo H. Kemper, MSC, dari Paroki Grogol untuk Stasi Cengkareng dan Romo S. Sutopanitro, PR untuk Stasi Kapuk.

Dengan surat No. 352/B.Tjk/1972 dan No. 353/ B.Tjk/1972 bertanggal 10 Juli 1972, Mgr. Leo Soekoto, SJ menugasi Bapak R.Y. Prabowo (yang saat itu masih bertugas sebagai seorang perwira TNI-AD dan membantu di Sekretariat Paroki Tangerang) dan Bapak V.A. Adiwahyanto  (yang saat itu menjadi guru di SD Aloysius, Tangerang) untuk mengunjungi dan mendata umat di Stasi Cengkareng dan Kapuk guna mendapatkan data yang lebih rinci akan keberadaan mereka disamping juga untuk mengetahui jumlah umat di daerah ini serta kebutuhan akan sarana tempat beribadah.   Pendataan terus dijalani oleh kedua sukarelawan ini hingga akhir Oktober 1972, saat pendataan umat dianggap selesai dan hasilnya dilaporkan ke Keuskupan Agung Jakarta lewat Romo Anton Mulder, SJ.

Masa-masa itu memang umat Cengkareng benar-benar hidup dalam diaspora (terasingkan), bahkan mungkin sendirian. Umat bujangan tinggal di tengah anggota keluarga, kontrakan, pemondokan, atau asrama non-Katolik. Keluarga-keluarga Katolik memang belum membentuk komunitas basis di tengah masyarakat yang seluruhnya non-Katolik. Memang, dalam suasana diaspora seolah tidak ada komunitas. Pertemuan 2-3 umat dalam jarak yang berjauhan akan dialami, dirasakan, dinikmati sebagai kesempatan, karunia, dan rahmat yang tak ternilai. Relasi iman akan erat terjalin, pertemuan sering diadakan sebagai salah satu wujud saling merindukan, saling menguatkan, saling peduli, saling mengasihi.

Sejak tahun 1968, umat di Kapuk (Cengkareng Utara) setiap bulan mengadakan sekali Perayaan Ekaristi yang dipimpim oleh Romo Letkol (Tit) S. Sutopanitro, PR di Sekolah Taniwan.  Sejak Tahun 1969, Cengkareng Selatan menjadi Stasi Paroki St. Kristoforus, Grogol, yang waktu itu digembalakan oleh Romo H. Kemper, MSC.  Di Cengkareng Selatan ini juga diadakan kegiatan Perayaan Ekaristi sebulan sekali di rumah Bapak Thomas Soenarya Winata, Jl. Beringin Raya, atau di rumah Bapak R. Sukamto, di Kompleks Imigrasi.  Sejak tahun 1972, umat yang tinggal di Kompleks Kodam Jaya dan sekitarnya pun telah merayakan Ekaristi sekali dalam sebulan yang dipimpin oleh Romo Sutopanitro, PR, dan sejak akhir 1973, umat di Kompleks ini dapat merayakan Misa dua kali dalam sebulan.  Sejak dibukanya Kompleks Permata (Cengkareng Timur) di tahun 1973, tercatat ada 15 keluarga Katolik yang dipimpin oleh Bapak Thomas Martubongs.  di Kompleks ini umat juga berhimpun untuk beribadat.  Walau hanya sedikit umat yang menghadiri Perayaan Ekaristi, namun benih-benih persekutuan telah lahir di komunitas-komunitas kecil ini.  Inilah unsur cikal bakal Paroki Cengkareng.

Tiga peristiwa duka yang terjadi di Cengkareng dalam tahun 1973 dan 1974 mempunyai arti penting dalam kelahiran komunitas Cenkareng.

Pertama:  Awal Mei 1973, MisaArwah yang diadakan di rumah Alm. Bapak E. Purnomo yang tinggal di Bedeng Timur.  Umat sekitarnya berkumpul, tetapi saat Romo akan pulang sekitar pkl. 21.30, ditemukan semua ban mobil jeepnya tak berudara sama sekali.  Untung ada umat yang memiliki pompa tangan.  Di Daan Mogot, mobil yang sama hampir terbalik digasak truk besar panjang bermuatan besi.

Kedua: Agustus 1973.  Misa Arwah 40 hari untuk putera Bapak Pieter H. Wiratmo yang tinggal di Jl. Utama Raya 38.  Umat Cengkareng Selatan berkumpul dalam Misa ini dan bersepakat merayakan Ekaristi bersama di rumah ini.

Ketiga:  Sekitar Juli 1974.  Umat Cengkareng Indah (Lingkungan Ignatius yang sekarang) dipertemukan kala pegawal sipil TNI-AL yang menikah campur meninggal dunia.

Peristiwa-peristiwa duka itulah yang menancapkan tonggak sejarah Paroki Cengkareng, karena dalam peristiwa itu terjadi pertemuan dan kesempatan untuk saling kenal antar umat di bakal Stasi Cengkareng.

Sejak Misa Arwah di rumah Bapak P.H. Wiratmo (peristiwa duka ke-2), umat Cengkareng Selatan dapat merayakan Misa 2 kali sebulan di rumah itu, Jl. Utama Raya 38.  Semangat kekeluargaan komunitas bakal stasi ini semakin terwujud.  Kemudian, umat Cengkareng Selatan sesekali merrayakan Misa bersama di Kapel Kodam Jaya.

Pada bulan November 1974, Keuskupan Agung Jakarta menyerahkan Stasi Cengkareng kepada Kongregasi Oblat Maria Immaculata (OMI) untuk ditingkatkan menjadi Paroki. Beberapa imam OMI terlihat mengadakan survey ke Cengkareng Selatan bersama para Bapak umat perintis Gereja. Hingga Januari 1975, Perayaan Ekaristi masih dipimpin oleh Romo Anton Mulder, SJ. Februari 1975, Romo Patrick Moroney, OMI mendapat tugas di Cengkareng. Sejak saat itu, Misa yang masih dilaksanakan di rumah P.H. Wiratmo, Jalan Utama Raya 38, mulai dipimpin oleh Romo Pat yang tinggal di Paroki Tangerang atau Susteran Gembala Baik, Jatinegara.

Bulan Maret 1975, terbentuk kepengurusan Mudika bakal Paroki Cengkareng yang diketuai oleh Felix Wiratmo. Di bulan Mei 1975, Stasi Cengkareng secara administratif lepas sepenuhnya dari Paroki Tangerang. Dambaan terwujudnya sebuah Paroki semakin dekat di depan mata. Di tahun 1976, Keuskupan Agung Jakarta membeli tanah seluas 8.000 m2 dari Bapak Haji R.A. Nunung Mohamad Yunus dan beberapa pemilik tanah lainnya untuk lokasi gedung gereja.

Di bulan September 1975, sebuah rumah dikontrak dari Bapak Haji Nunung untuk digunakan sebagai pasturan dan sejak itulah Romo Pat bermukim di Cengkareng. Rumah yang cukup bagus itu hanya memiliki pompa air dengan air yang kuning lagi lengket. Air itulah yang digunakan untuk keperluan gembala pertama bakal Paroki Cengkareng. Umat lalu mengantar air yang lebih bagus untuk gembala yang mereka cintai dan lama mereka rindukan ini. Garasi pasturan yang sempit dengan halaman luas di samping kanan rumah kemudian diubah fungsinya menjadi tempat beribadat. Bapa Uskup Mgr. Leo Soekoto, SJ pernah berkunjung dan sempat merayakan Ekaristi di sini.

Sejak adanya pasturan dengan garasi yang dipakai sebagai gereja, maka kegiatan Perayaan Ekaristi di rumah Bapak P.H. Wiratmo pun dipindahkan ke tempat ini.  Kehangatan dan sentuhan kasih sayang sangat dinikmati seluruh umat, selama dan seusai kegiatan beribadat.  Para ibu sangat peduli pada umat yang umumnya datang dari tempat yang jauh.  Ibu-ibu selalu menyediakan makanan dan minuman secara gratis.  Inilah awal berkiprahnya para Wanita Paroki (WP).

Di bulan September 1975 itu pula wilayah Stasi Cengkareng dibagi menjadi 3 Mandala (istilah daerah operasi ABRI, karena kebetulan anggota TNI dan Kepolisian banyak berperan dalam melahirkan Paroki Cengkareng): Mandala Barat dengan Ketuanya Bapak J.B. Agus Supaat; Mandala Tengah dengan Ketuanya Bapak Robertus A. Tjuk; dan Mandala Timur dengan Ketuanya Bapak Thomas Maturbongs.   Kesempatan ini pun digunakan untuk menandai dimulainya Perkumpulan Kematian St. Yusuf yang diketuai oleh Bapak Pieter H. Wiratmo.

Sejak adanya perayaan Misa secara teratur, terbukalah kesempatan untuk membina kehidupan beragama dan beriman secara bersama-sama.   Seusai Misa, umat masih lama berkumpul, berembuk, atau hanya berbincang-bincang.  Kesempatan yang langka, jarang, dan dirindukan ini tidak mau dibiarkan hanya berlalu begitu saja.  Itulah suasana yang senantiasa dominan.  Maka, ibu-ibu pun serta merta memasak, menyiapkan makanan dan minuman.  Perjumpaan iman dianggap sekaligus pesta dan kesempatan menjamu.  Itulah suasana istimewa Stasi Cengkareng di tahun 1973-1976.  Perasaan sehati, sejiwa, sepikir, dan satu keluarga untuk memecahkan roti rohani dan jasmani amat terasa.  Dalam kesempatan seperti ini tetap tampak 'penampilan' anggota komunitas basis dari keluarga Katolik yang kondusif dan yang lainnya.

Romo Pat yang penuh semangat digantikan oleh Romo David Shelton, OMI di bulan Juni 1976.  Berbeda dengan pendahulunya, Romo David yang berperawakan gagah, tegas dan selalu gembira ini sedikit bicara dan berperangai keras.  Tetapi hal ini membuahkan hasil yang positif.  Untuk pertama kalinya Seksi Liturgi dibentuk yang dipercayakan kepada Bapak R.Y. Prabowo.  Karena banyaknya peminat yang ingin belajar agama, maka lahirlah Seksi Katekese yang diketuai oleh Bapak V.A. Adiwahyanto.  Rumah yang disewa dari Bapak Haji Nunung pun dirasa tidak memadai lagi, maka disewalah sebuah rumah masing-masing di Jln. Sakura No. 23 sebagai tempat beribadat dan di Jln. Pepaya V sebagai pasturan.  Tahun berikutnya, pasturan kembali berpindah tempat ke Jln. Mesjid.

Di awal tahun 1978, Romo David beberapa kali mengumpulkan para tokoh umat untuk merundingkan nama bakal Paroki Cengkareng yang tak lama lagi akan dibentuk.  Tiga nama dipertimbangkan saat itu, yaitu Trinitas, Santa Maria Immaculata, dan Santo Antonius.  Akhirnya, atas restu Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ, pada tanggal 26 Mei 1978 diselenggarakan rapat yang memilih nama Paroki.  Dari tiga nama yang diajukan, terpilihlah TRINITAS sebagai nama Gereja.

Sebelum kepulangannya ke Australia, Romo David berhasil pula membentuk Dewan Paroki dan Pengurus Gereja Dana Papa (PGDP) yang pertama yang dilantik pada 11 Juni 1978 bertepatan dengan disahkannya nama Trinitas sebagai nama Gereja.  Sejak saat itu, para Ketua Mandala ditetapkan pula sebagai Ketua Wilayah.

Romo Petrus J. McLaughlin, OMI menggantikan tempat Romo David dan meneruskan karya pelayanan para Oblat kepada umat Cengkareng.  Pada 17 Agustus 1978, Seksi Koor dibentuk dengan dirigen pertamanya Bapak J. Djoko Sep. (saat itu masih Mudika, tinggal di Semanan).  Sebulan kemudian, dibentuk pula Seksi Sosial Paroki (SSP) sebagai wadah nyata dari semua kegiatan sosial yang sebenarnya telah berjalan jauh sebelum terbentuknya Seksi ini.

Seiring dengan berdirinya Dewan Paroki yang pertama, umat separoki pun digembalakan lewat para Pengurus Seksi, Kelompok Kategorial, Wilayah, Lingkungan dan Kelompok-Kelompok dalam Lingkungan.

Sejak sebelum Paroki Cengkareng terbentuk, beberapa umat telah dipersiapkan untuk mengikuti Penataran Dewan Paroki se-Keuskupan Agung Jakarta di Wisma Samadi, Klender.  Bapak Robertus A. Tjuk, Bapak R.Y. Prabowo, dan Bapak Yoseph Walewangko dipersiapkan untuk menjadi penegak bakal Paroki ini.  Setelah terbentuknya Dewan Paroki dan Kepengurusan Wilayah serta Lingkungan, maka 3 Mandala yang dibentuk sebelumnya kini disebut Wilayah dengan batas lokasi pelayanan sebagai berikut:

Wilayah Barat (Jl. Sumur Bor hingga Warung Gantung/perbatasan DKI-Tangerang) dengan ketuanya Bapak J.B. Agus Supaat.  Wilayah yang cukup luas dengan umat yang masih terpencar ini dibiarkan tetap menjadi sebuah Wilayah;

Wilayah Tengah (Jl. Sumur Bor hingga persawahan di timur Lingkungan Agustinus sekarang) dengan ketuanya Bapak R.A. Tjuk dibagi menjadi 6 Lingkungan;

Wilayah Timur (batas Wilayah Tengah hingga Kalimati) diketuai oleh Bapak Thomas Maturbongs dibagi menjadi 5 Lingkungan.

Perumahan Bojong Indah saat itu masih menjadi bagian dari Paroki Cengkareng dan dibagi menjadi 2 Lingkungan.  Untuk melayani umat Bojong Indah, sebulan dua kali diselenggarakan Ibadat Sabda di Sekolah Lamaholot.

Paroki Cengkareng yang memulai pelayanannya dengan sangat minimal sekali - yaitu Misa dan pelayanan pastoral - kini terus berangsur melengkapi diri dengan pelayanan pendidikan, sosial, liturgi, pewartaan, Mudika, dan koor.  Pelayanan pendidikan dan pastoral sejak awal menjadi bagian penting dalam Gereja.  Kedua pelayanan itu akan terus menjadi semakin penting dan perlu terus dikembangkan.

Dunia pendidikan Paroki Cengkareng yang bermula dengan Sekolah Strada yang diresmikan penggunaannya di tahun 1974 diwarnai pula dengan kedatangan para Suster Kongregasi Amal Kasih Darah Mulia (ADM) yang hadir di tahun 1980 untuk membantu umat lewat karya sosial, pastoral, kateketik, dan pendidikan dengan membuka Sekolah Seraphine Bakti Utama.  Lima tahun berselang, hadir pula para Suster Kongregasi Jesus Maria Joseph (JMJ) untuk mendirikan dan menyelenggarakan karya pendidikan lewat Sekolah Bintang Kejora.  Di tahun 1994, Paroki Grogol dengan Yayasan Diannanda mulai berkarya dalan bidang pendidikan lewat Sekolah Kristoforus II.  Dan kini, beberapa sekolah Katolik juga telah hadir di Paroki Cengkareng seperti Sekolah Bina Kusuma, Sekolah Paulus, Sekolah San Marino, dan Sekolah Lia Stefani.

Pelayanan pastoral umat terlihat sangat mendesak dan senantiasa perlu menjadi perhatian segenap warga Gereja.  Banyak umat 'miskin' secara rohani: luka batin, kesendirian, butuh sahabat dan masih banyak kemiskinan lain di samping kemiskinan materi.  Berbagai Seksi dan Kelompok Kategorial terus mengembangkan diri semata-mata untuk menjadi wadah bagi umat yang membutuhkannya.

Sejalan dengan misi khusus para Oblat  yaitu "Pelayanan Kepada Kaum Miskin", maka pelayanan itu sudah mulai dijalankan semenjak Paroki berstatus Stasi Cengkareng dan terus berlanjut hingga kini.  Kepada kaum yang tertinggal secara ekonomi atau juga miskin harta, pelayanan telah dimulai dengan Proyek Kincir FHP (Familiar Helper Project) dan Pelita Kasih FHP yang bernaung dalam Yayasan Dharma Kasih yang didirikan pada 23 Februari 1981.  Proyek yang bermula dengan 2 orang klien binaan dari sebuah keluarga di tahun 1974 kini telah meningkat menjadi 1.800 klien binaan.  Kepada kaum yang 'miskin' kesehatan, telah diselenggarakan pelayanan kesehatan yang telah melayani puluhan ribu pasien.  Bagi kaum yang 'miskin' sahabat, 'miskin' perdamaian, penuh luka batin, dan lainnya, pastoral umat senantiasa dibutuhkan sepanjang sejarah umat manusia.  Kekayaan harta, kelimpahan wewenang dan kekuasaan ternyata belum menjadi jaminan kekayaan batin dan kedamaian.

Anggota komunitas Paroki Cengkareng sudah ada sekitar 20.000 jiwa.  Setiap Paskah dan Natal, gereja dipadati oleh umat.  Umat terlihat aktif dalam berbagai kegiatan gerejawi.  Hampir setiap hari kompleks gereja dipenuhi kelompok umat untuk bermacam kegiatan gereja ini berarti sudah banyak umat yang telah mampu mewujudkan imannya dalam kehidupan nyata.

Masih banyak sarana dan wadah kegiatan beriman yang sudah ada di Paroki, Wilayah, dan Lingkungan, namun belum dimanfaatkan sebagian besar umat.  Masih banyak pula wadah yang perlu diciptakan untuk memikat dan memberdayakan sebanyak mungkin umat.  "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.  Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian,  supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu." (Luk 10:2).

Luas wilayah Paroki tidak pernah bertambah, tetapi umat dan pemukiman baru senantiasa bertambah.  Perubahan kependudukan dalam kaitannya dengan penyebaran tempat tinggal umat menyebabkan Paroki beberapa kali mengalami pemekaran dan bahkan masih merencanakan pemekaran selanjutnya.

Pada tahun 1981, Bapa Uskup memisahkan daerah bagian selatan Daan Mogot untuk menjadi Paroki sendiri.  Hingga pertengahan 1982, Perayaan Ekaristi maupun Ibadat Sabda masih dilayani oleh Paroki Cengkareng.  Di akhir tahun 1982, Gereja St. Thomas Rasul, Paroki Bojong terbentuk dengan gembalanya para Imam Praja.

Cengkareng yang semula terdiri dari 2 Stasi: Stasi Cengkareng dan Stasi Kapuk yang dibagi dalam 3 Mandala (kemudian disebut 3 Wilayah), di tahun 2009 sudah menjadi Paroki Cengkareng (Gereja Trinitas), Paroki Bojong, Paroki Kosambi Baru (pemekaran dari Paroki Bojong sejak tahun 2005) dan Paroki Kapuk.  Paroki Cengkareng sendiri kini mempunyai 21 Wilayah dengan 126 Lingkungan.

Gereja St. Philipus Rasul, Paroki Kapuk berdiri tahun 1992 yang digembalakan oleh Imam Pasionis.  Bagian timur Kanal Barat DKI (Cengkareng) seharusnya menjadi wilayah pelayanan Paroki Kapuk, tetapi Lingkungan St. Tarsisius dan Daniel ingin tetap menjadi bagian dari Paroki Cengkareng.  Permohonan itu 'dikabulkan', maka hingga sekarang kedua Lingkungan itu tetap berada dalam gembalaan Paroki Cengkareng.

Kini, dalam usia ke-33, Paroki Cengkareng sedang membangun Gereja Santa Maria Imakulata yang nantinya akan menjadi Stasi Paroki.  Sebelumnya, Paroki Cengkareng telah menyelesaikan pembangunan sebuah Kapel sebagai sarana beribadah bagi umat Stasi St. Vincentius Pallotti, Dadap. (disarikan dari Buku Kenangan 25 Tahun Gereja Katolik Trinitas, Paroki Cengkareng, Jakarta Barat dengan penambahan seperlunya/smartis)

Sumber: Majalah Sabitah Edisi 48, Mei-Juni 2011